Hukum

Sidang di Mahkamah Konstitusi, Pengalaman Tak Terlupakan

Suasana sidang di Mahkamah Konstitusi (MK) -- foto dok pribadi
Suasana sidang di Mahkamah Konstitusi (MK) -- foto dok pribadi
Written by nurterbit

Berada di ruang sidang pengadilan, duduk di kursi di mana di atas meja ada embel-embel tulisan Penasehat Hukum, memang suatu pengalaman tersendiri. Begitulah yang saya alami saat pertama kali bersidang di pengadilan sebagai pengacara mendampingi klien.

Tidak pernah terbayang sebelumnya, bahkan bermimpi pun tidak. Ini koq tiba-tiba bisa duduk berdampingan dengan pengacara senior lainnya yang sudah malang-melintang di dunia “persilatan” bidang ilmu hukum.

Benar-benar profesi baru setelah bertahun-tahun menjalani pekerjaan sebagai jurnalis dengan latar pendidikan dari perguruan tinggi agama Islam. Beda dengan teman-teman wartawan bidang hukum lainnya, yang memang media mereka khusus liputan masalah hukum seperti misalnya teman-teman reporter dari www.hukumonline.com

Dunia hukum memang bukan sesuatu yang asing bagi saya. Soalnya bertahun-tahun keluar masuk kantor polisi, kantor kejaksaan, ruang sidang pengadilan, keluar masuk penjara. Walah…bekas orang hukuman atau mantan narapidanakah? Bukan, ini semata-mata karena tuntutan profesi sebagai wartawan bidang kriminal, hukum dan perkotaan.

Sebagai wartawan, mungkin saja saya hanya bisa duduk di kursi pengunjung sidang pengadilan dengan pengetahuan hukum yang pas-pasan. Ya, mengingat latar belakang pendidikan yang non hukum. Saya sempat berpikir, andai saja ketika itu saya sudah mengenal www.hukumpedia.com seperti sekarang, yakni sebuah website yang dikenal sebagai gudangnya informasi hukum, pasti saya tidak segerogi waktu beracara di ruang sidang, hehehe….

Atau ketika berada di ruang sidang pengadilan Mahkamah Konstitusi (MK), hanya bisa berdiri di belakang kursi pemohon, termohon, para pihak terkait, bersama teman-teman yang lain sambil menunaikan tugas profesi sebagai wartawan/fotografer peliput sidang MK.

Saya (kiri) sebagai kuasa hukum calon Gubernur Sulsel dalam sengketa Pilkada di Mahkamah Konstitusi (MK) -- foto dok pribadi

Saya (kiri) sebagai anggota tim kuasa hukum dalam gugatan pemohonan penghapusan jabatan Wakil Menteri (Wamen) di Kabinet SBY, saat sidang di Mahkamah Konstitusi (MK) — foto dok pribadi

Nah, itulah awal pertama kali saya berkenalan dan bergabung dengan dunia profesi kepengacaraan, termasuk bersidang di MK semasa masih Ketua MK dijabat Mahfud MD hingga berganti ke Akil Mochtar. Pekerjaan sebagai lawyer ini saya jalani, di sela-sela saya juga tetap menjalani pekerjaan tetap saya sebagai wartawan. Dua profesi menantang yang terlanjur jadi pilihan hidup.

Itu sebabnya ketika teman-teman yang sudah mengetahui profesi baru saya sebagai pengacara, dan sering melihat keluar masuk gedung MK, bercanda dengan mengatakan, “pengacara spesialis MK”. Sebaliknya teman-teman jurnalis yang pernah sama-sama meliput di lapangan, terkadang urung wawancara karena mengetahui kalau saya juga adalah wartawan seperti mereka. “Masak jeruk makan jeruk sih,” kata mereka. Hehe..

Andai saja saya tidak pernah ikut ujian dan diklat khusus profesi advokat — istilah lain dari pengacara atau lawyer – dan alhamdulillah berhasil lulus serta berhak mengantongi kartu identitas sebagai advokat, maka tidak mungkin saya bisa duduk di deretan kursi yang sengaja disiapkan untuk para pengacara.

Sidang bersama Akil Mochtar

Sejak menyandang profesi baru sebagai pengacara mulai tahun 2009, Alhamdulillah berbagai perkara sudah saya tangani.  Keluar masuk kantor polisi, kejaksaan, pengadilan dan penjara. Baik bersama tim lawyer, maupun sendirian mendampingi klien.

Begitu juga sidang dari satu pengadilan ke pengadilan lainnya. Mulai dari Pengadilan Negeri (PN), Pengadilan Agama (PA), Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Pengadilan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) hingga Mahkamah Konstitusi (MK). Hari-hari saya pun diwarnai berbagai kesibukan.

Sebagai kuasa hukum di Mahkamah Konstitusi (MK) -- foto dok pribadi

Sebagai kuasa hukum di Mahkamah Konstitusi (MK) — foto dok pribadi

Khusus di Mahkamah Konstitusi, saya masih ingat, sidang terakhir saya sebagai pengacara di MK, adalah Februari 2013 silam. Saat itu saya menjadi salah seorang anggota tim kuasa hukum Ilham Arief Siradjudin – Azis Kahar Muzakkar (IA) selaku pemohon, yang juga sekaligus pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan dalam sidang sengketa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).

Sidang sengketa Pilkada Sulsel ketika itu dipimpin ketua majelis Mahfud MD yang juga menjabat Ketua MK dengan anggota hakim di antaranya Akil Mochtar.

Seperti diketahui, Ketua MK yang menggantikan Mahfud MD, yakni Dr. M.H. Akil Mochtar, S.H., M.H., oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ditangkap dengan tuduhan dugaan penerimaan gratifikasi (suap, hadiah) sebesar Rp4 miliar dari kasus sengketa Pilkada yang disidangkannya. Belakangan tuduhan tersebut terbukti, dan Akil Mochtar pun harus menjalani hukuman di penjara.

Kembali ke sidang sengketa Pilkada Sulsel, Pemohon diwakili tim kuasa Adi Warman dkk, sementara pihak Termohon KPUD Sulsel dengan tim kuasa Mappinawang dkk, Termohon Terkait pasangan Cagub Syahrul Yasin Limpo-Agus Arifin Nu’mang (Sayang) dgn tim kuasa Adnan Buyung Nasution.

Dari Satu Perkara ke Perkara Lain

Sebelumnya ada 3 perkara kami ajukan ke MK.

Pertama, sebagai tim kuasa hukum dari Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi (GNPK) Pusat, mempersoalkan sengketa kewenangan yang dilakukan Menteri Agama dalam melantik pejabat Kantor Urusan Agama (KUA) di daerah, tapi ternyata ditolak MK dengan pertimbangan legal standing.

Kedua, masih sebagai tim kuasa GNPK mempersoalkan posisi Wakil Menteri (Wamen) yang tumpang-tindih dengan tugas dan kewenangan dengan posisi jabatan lain seperti Sekjen di Kementerian. Akibatnya terjadi pemborosan anggaran. Hasilnya, putusan MK menerima sebagian permohonan kami. Posisi wamen kemudian diperbaiki, di antaranya dalam mengangkat pejabat Wamen.

Ketiga, sebagai tim kuasa GNPK mempersoalkan keberadaan fraksi di DPR-RI, DPRD, DPD yang hanya memboroskan keuangan negara. Sidangnya sudah lama selesai namun hasilnya sempat “tidak jelas” ujungnya. Belakangan keluar juga keputusan dari majelis hakim meski kemudian Mahfud MD “lengser keprabon” dari jabatan Ketua MK dan digantikan Akil Mochtar.

Putusan MK untuk perkara keberadaan fraksi DPR ini, saya nilai “mandeg” dan terhenti pada tahap pengambilan keputusan suara bulat para hakim dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). Entah apa masalahnya.

Sempat muncul sejumlah spekulasi dan dugaan bahwa kasus ini ada intervensi dari pihak parlemen dan pemerintah untuk mempertahankan keberadaan fraksi di DPR. Yang pasti, permohonan gugatan kami memang belakangan ditolak oleh MK.

Keempat, sidang sengketa Pilkada Sulawesi Selatan untuk Ilham Arief Siradjudin – Azis Kahar Muzakkar (IA), pasangan calon Gubernur dan Wakil Sulawesi Selatan. Klien saya ini menggugat Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Provinsi Sulawesi Selatan, pihak terkait sebagai pemenang Pilkada yang juga pasangan Gubernur dan Wakil Sulsel Incumbent Syahrul Yasin Limpo – Agus Arifin Nu’mang (SAYANG) dalam sengketa Pikada Sulsel.

Hasilnya, permohonan gugatan saya dan teman-teman juga ditolak oleh MK. Bukti-bukti maupun saksi, atau ahli yang kami ajukan untuk memperkuat dugaan terjadinya kecurangan yang masif, terstruktur dan terorganisir, dikesampingkan oleh majelis hakim yang diketuai Mahfud MD dengan 8 hakim anggota di antaranya Akil Mochtar. Permononan kami agar digelar Pilkada ulang di 13 kabupaten-kota di Sulsel, juga kandas.

Saya (paling kiri) disalami oleh Biro Hukum Kementerian Hukum dan HAM sebagai kuasa hukum dalam perkara gugatan pengapusan jabatan Wakil Menteri usai sidang di Mahkamah Konstitusi (MK) -- foto dok pribadi

Saya (paling kiri) disalami oleh Biro Hukum Kementerian Hukum dan HAM sebagai kuasa hukum dalam perkara gugatan pengapusan jabatan Wakil Menteri usai sidang di Mahkamah Konstitusi (MK) — foto dok pribadi

Meski perkara yang kami diajukan sebagai pihak(-pihak) dengan legal standing yang jelas, dasar-dasar permohonan (posita) yang jelas, pokok permohonan (petitum) yang jelas yang didukung oleh alat-alat bukti yang cukup serta tiadanya pengaruh eksternal yang bersifat ekstra-yudisial, tapi akhirnya pasangan Syahrul Yasin Limpo – Agus Arifin Nu’mang kemudian dilantik oleh Mendagri sebagai Gubernur Sulsel periode kedua tahun 2013-2018.

Nah, itulah secuil pengalaman saya berada di ruang sidang pengadilan, duduk di kursi sebagai pengacara mendampingi klien.

Salam,
Nur Terbit

6 Comments

  • Wah saya tidak duga pak. Saya kira tadi teman penulis di Kompasiana. Apalagi komentar di tulisan saya dengan mengatakan belajar dari tulisan saya. Saya jadi malu pak. Saya tidak ada apa-apanya dibanding pak Nur. Saya merasa sangat terhormat bapak berkenan membaca dan memberi komentar pada tulisan saya pak. Salam kenal.

    • Ya gak apa-apa koq pak. Belajar itu kan tidak mesti harus resmi, harus melalui pendidikan formal, tapi juga bisa dari artikel yang kita baca seperti yang bapak tulis di Kompasiana. Salam kenal kembali pak. Terima kasih juga sudah mampir di blog saya.

Tinggalkan Balasan ke nurterbit X