Apakah benar sektor pengadaan paling rawan terhadap korupsi? Bagaimana peningkatan kualitas pengadaan publik dapat meminimalisir resiko korupsi? Bagaimana pengawasannya?
Tiga poin di atas, termasuk apa saja dalam pengadaan publik yang perlu diperbaiki, dan siapa yang perlu bekerja sama melakukannya? membuat kening Febri Hendri, Koordinator Divisi Investigasi ICW (Indonesian Corruption Watch) terlihat berkerut menyiapkan jawabannya.
Bahkan ketika saya — mewakili komunitas blogger — ikut mengajukan pertanyaan, bahwa, ternyata “di lapangan makin marak munculnya pihak “pengawas” proyek pengadaan, tetapi korupsi masih tetap saja terjadi?”, Febri Hendri kemudian memaparkan data. Di mana kemudian terungkap, celah korupsi memang tetap masih terbuka.
“Sektor pengadaan memang paling rawan terhadap korupsi. Jadi perlu terus dilakukan upaya peningkatan kualitas dari pelaku pengadaan publik agar dapat meminimalisir resiko korupsi,” kata Febri Hendri.
Terkait pertanyaan saya soal ternyata “di lapangan makin marak munculnya pihak “pengawas” proyek pengadaan, tetapi korupsi masih tetap saja terjadi?”, Deputi Bidang Pengembangan Strategi dan Kebijakan LKPP, Robin Asad Suryo punya jawaban sendiri setelah saya menjelaskan pihak pengawas yang dimaksud.
Robin Asad Suryo mengatakan, pihak LKPP tidak terkait dengan keterlibatan Kejaksaan. Alasannya tidak ada aturan main yang mengatur soal itu. Secara umum pengadaan, lelang, bisa dilihat dengan jelas melalui website di internet.
“Kehadiran pihak Kejaksaan mungkin akibat kekhawatiran pihak pengadaan atau pengelola proyek, merasa lebih nyaman dan aman. Selama ini mereka selalu dipanggil oleh polisi akibat laporan dari masyarakat. Itulah mungkin alasannya, sehingga merasa lebih nyaman dikawal oleh Kejaksaan,” kata Robin Asad Suryo.
Sementara berdasarkan temuan dari “investigasi kecil-kecilan” yang saya lakukan di lapangan, saya sering menemukan ada sejumlah proyek pembangunan dari instransi pemerintah yang “mengikutkan” pihak Kejaksaan setempat sebagai pengawas.
Bahkan terang-terangan ada plang terpampang di lapangan: “Proyek ini ikut diawasi oleh Kejaksaan”. Padahal, sebelumnya tidak ada keterlibatan pihak Kejaksaan kecuali peran masyarakat melalui LSM-LSM sebagai representatif keterwakilan masyarakat.
Justeru oknum LSM-LSM inilah yang menjadikan proyek tersebut sebagai “bancakan” dengan oknum kejaksan dari laporan mereka sebagai LSM. Bahkan ironisnya, oknum LSM tersebut bermain tiga kaki. Sebagai kontraktor, LSM dan wartawan.
Setelah gagal menang tender, data-data dan fakta indikasi kecurangan tersebut mereka kumpulkan lalu dilaporkan ke Kejaksaan. Kalau pihak Kejaksaan tidak merespon, mereka memuatnya di media karena ada di antara peserta lelang yang gagal tadi adalah sekaligus oknum wartawan. Nah, itulah yang saya maksud bermain “tiga kaki” : kontraktor, LSM dan mass media.
Sejumlah fakta dan kenyataan di lapangan kemudian terungkap pada acara diskusi tersebut. Inilah alasan kenapa saya masih bertahan sampai acara selesai, pada diskusi “Pengadaan Publik Yang Modern Untuk Indonesia Lebih Baik” di Tjikini Lima Restaurant & Kafe, Jalan Cikini I No.5, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa 5 Desember 2017 silam.
Acara yang dikemas dalam bentuk radio talkshow dan disirakan secara live oleh MNC 104.6 FM Trijaya Jakarta ini, mengambil tema tentang Satu Dekade LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), digelar atas kerjasama LKPP dengan MCA Indonesia (Millennium Challenge Account Indonesia).
Selain Febri Hendri dari ICW, hadir juga sebagai pembicara Deputi Bidang Pengembangan Strategi dan Kebijakan LKPP, Robin Asad Suryo didampingi Direktur Proyek Modernisasi Pengadaan MCA-Indonesia, Firman Dharmawan.
Sektor Pengadaan Paling Rawan Korupsi
Menurut Febri Hendri dari ICW, pihaknya mencatat sejumlah pengadaan — yang semula terindikasi, lalu belakangan ternyata memang terbukti telah terjadi tindak pidana korupsi.
Antara lain pada tahun 2010 – 2013, untuk sektor kesehatan telah terjadi 216 kasus korupsi (tahap penyidikan) dalam pengadaan alat-alat kesehatan.
Anehnya pada 2013, angka korupsi di sektor kesehatan ini menurun. Dari semula ada 53 kasus menjadi 24 kasus terkait pengadaan alat-alat kesehatan, pengadaan obat dan lain-lain.
Kendalanya terletak pada katalog obat. Kontraktor tidak mampu menyediakan obat. Pesanan memerlukan waktu lama baru barang datang ke pemesan.
“Kasihan pasien di rumah sakit, tidak mungkin menunggu kedatangan obat karena keburu penyakitnya makin parah,” kata Febri.
Kasus lain, kata Febri, adalah kasus pengadaan 230 juta eksamplar buku pelajaran sekolah. Kapasitas pencetak milik perusahaan pemenang tender, ternyata tidak mampu melayani apalagi dalam waktu singkat, hanya 3 bulan dan dalam jumlah buku yang jutaan itu.
Saran dari ICW, para penyelenggara pengadaan barang maupun pihak yang terlibat ikut tender pengadaan ini, haruslah transparan. Artinya perlu “open kontrak” — mulai dari hulu hingga hilir — sehingga bisa diawasi apakah sudah sesuai dengan aturan main.
“Kalau kemudian terjadi ada indikasi penyimpangan, kan bisa dilaporkan sejak dini kepada instansi pengawasan terkait. Seperti Inspektorat di daerah, BPK dan lain-lain. Dengan demikian, adanya sejumlah pengawas,upaya korupsi akan bisa berkurang,” katanya.
Bukan rahasia umum lagi, demikian Febri, kalau banyak “proyek” pengadaan di daerah yang fiktif. Dokumen penawaran peserta lelang hanya copy paste, alamat perusahaan peserta lelang gak jelas, SDM meraka pun tidak memadai. Kalau mereka yang dimenangkan, bisa dibayangkan bagaimana hasil pekerjaan mereka.
Apa Peran LKPP Selama Ini?
Latar belakang terbentuknya LKKP dimulai pada tahun 2007. Pemerintah Indonesia membentuk Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) untuk meningkatkan kualitas pengadaan publik.
Saat itu, kata Robin Asad Suryo, Deputi Bidang Pengembangan Strategi dan Kebijakan LKPP, pemerintah mengidentifikasi perlunya sistem pengadaan dengan regulasi dan prosedur yang jelas, kelembagaan yang lebih baik, sumber daya manusia yang mumpuni, proses
bisnis yang transparan dan akuntabel, serta penanganan permasalahan hukum yang mengedepankan azas keadilan.
“Maka diputuskan perlu ada lembaga negara dengan kewenangan dalam merumuskan perencanaan dan pengembangan strategi, penentuan kebijakan serta aturan perundangan terkait reformasi pengadaan,” kata Robin.
Wajar jika Pemerintah Indonesia fokus meningkatkan kualitas pengadaan publik, karena tak kurang dari Rp 672 triliun dialokasikan pada 2013 untuk pengadaan barang dan jasa pemerintah. Angka ini setara dengan 40 persen dari total anggaran negara yang besarnya Rp 1.680 triliun.
Tahun 2017 ini, genap satu dekade LKPP bekerja dalam mereformasi pengadaan di Indonesia. Sejumlah langkah dan terobosan telah dilakukan oleh LKPP untuk mencapai tujuannya.
LKPP juga bermitra dengan banyak lembaga, termasuk Millennium Challenge Account – Indonesia (MCA-Indonesia).
Millennium Challenge Account – Indonesia (MCA-Indonesia) ini, merupakan lembaga wali amanat yang dibentuk Pemerintah Indonesia untuk mengelola Hibah Compact dari Pemerintah Amerika Serikat.
Melalui Proyek Modernisasi Pengadaan, MCA-Indonesia mendukung LKPP untuk meningkatkan kapasitas para profesional pengadaan publik, memperkuat kelembagaan Unit Layanan Pengadaan (ULP), meningkatkan kualitas Sistem Informasi Manajemen Pengadaan, menerapkan sistem kontrak katalog, serta mengembangkan pengadaan bagi proyekkemitraan pemerintah dan swasta.
“Kemitraan ini diharapkan dapat membantu pemerintah menghemat biaya, mencapai efisiensi dalam pengadaan, serta memastikan kualitas pengadaan sesuai dengan kepentingan publik dan waktu yang telah direncanakan,” kata Robin.
Penghematan ini bermuara pada perbaikan layanan pembelian barang dan jasa yang meningkatkan kesejahteraan rakyat serta perekonomian Indonesia. Ya, tentu saja dengan harapan agar masyarakat memahami perkembangan dalam sektor pengadaan publik dan relevansinya bagi kehidupan mereka.
Demikianlah reportase saya. Salam (Nur Terbit)