Nurjaman Mochtar, Pemimpin Redaksi TV Indosiar, SCTV dan Ketua Forum Pemred (Pemimpin Redaksi), punya pandangan tersendiri terhadap Presiden Joko Widodo. Sekali waktu pernah didatangi oleh sejumlah 70-an orang ke kantornya dan mempertanyakan siapa itu Jokowi. Kejadian ini saat mantan Walikota Solo dan Gubernur DKI Jakarta itu maju sebagai calon presiden berdampingan dengan wakil presiden Jusuf Kalla pada pemilihan presiden 2014 lalu.
Perwakilan dari 70-an orang itu bertanya, “siapa itu Jokowi?”.
Sebagai orang media, Nurjaman kemudian mencoba menjawab pertanyaan yang diajukan ke 70-an orang tersebut. Pengalaman unik ini diceritakannya kembali saat diminta menjadi salah satu narasumber di sebuah diskusi yang digelar forum FIS-UI (alumni FISIP Universitas Indonesia) bertema, “menyoroti kinerja pemerintahan Jokowi-JK – dari sisi pandangan media”.
Menurut Nurjaman, untuk memimpin negeri ini sebagai presiden, berdasarkan pengalaman selama pemilihan langsung calon presiden ini, setidaknya orang tersebut harus memiliki 2 modal pokok. Yakni harus punya “uang” dan “menguasai suara” secara mayoritas dalam pemilihan presiden.
Lalu mantan partner Karni Ilyas yang pernah menjabat wakil pemimpin redaksi TvOne ini, memberi contoh beberapa nama yang pernah maju sebagai pasangan calon presiden atau wakil presiden pada pilpres lalu. Antara lain Aburizal Bakrie (ARB), Hari Tanoe (HT), Prabowo Subianto (PS), dan Joko Widodo alias Jokowi.
Nurjaman pun mengajukan indikatornya dengan “membedah” satu demi satu calon presiden dan wakilnya pada pilpres lalu. Setidaknya dari sisi pandang kepemilikan uang dan penguasaan suara pemilu.
“Yang pertama: Aburizal Bakrie misalnya, sosok ketua partai ini punya uang tentu saja karena berlatarbelakang sebagai pengusaha, punya stasiun televisi. Kedua: Hari Tanoe punya beberapa stasiun televisi, pengusaha. Ketiga: Prabowo Subianto punya uang Rp1,8 triliun, tidak punya televisi. Keempat: Jokowi Cuma punya kekayaan Rp20 miliar, paling miskin dari sekian calon presiden, televisi tidak punya”.
Lalu apa yang terjadi kemudian? Jokowi akhirnya memenangkan pemilihan presiden. “Ini fenomena menarik. Kuasai media dan punya kekayaan. Terbukti sosok presiden itu adalah haruslah sosok yang menarik, yang punya konten khas,” kata Nurjaman.
Jadi jika ditanya bagaimana rapor Jokowi-JK, dari angka 1 hingga 10, akan bingung menjawabnya. Yang pasti di mata media, sosok keduanya merakyat, dukungan publik kuat, sehingga kerinduan dan harapan rakyat bukan hanya 1 hingga 10, tapi terlalu banyak. Sehingga kalau pun media memberi nilai 8, 7 atau 9, itu artinya rakyat merasa harapannya belum terpenuhi oleh pemerintahan Jokowi-JK.
Orang sempat menyalahkan media, kenapa mengangkat citra Jokowi. Yang terjadi memang media butuh pemberitaan soal Jokowi dengan sosoknya yang khas itu. Faktanya rating stasiun televisi naik dengan memberitakan sosok Jokowi.
Waktu pilkada DKI Jakarta dan Jokowi maju sebagai calon gubernur, media sosial maupun online juga memanfaatkan atau saling memanfaatkan untuk meningkatkan kliker, kunjungan pembaca media maya ini.
Presiden dan Wartawan
Pertanyaanya kenapa hal itu terjadi? Mengapa media tertarik pada sosok pemimpin tertentu? Lagi-lagi karena ini dipengaruhi oleh sosok pribadi dari pemimpin selama ini. Begitu pun yang dialami para awak media, baik cetak, visual, elektronik maupun online, mereka punya kesan tersendiri untuk masing-masing presiden.
Ketika Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi presiden, kata Nurjaman, untuk audensi dengan presiden, diatur oleh bagian protokol istana melalui Sekretaris Negara. Para wartawan diatur jika ingin mengajukan pertanyaan kepada presiden.
Di era Jokowi-JK sekarang ini, sangat berbeda jauh, tidak perlu resmi-resmian. Saat presiden memberikan keterangan resmi, bisa tia-tiba disela atu dipotong oleh pertanyaan wartawan. Jokowi tidak marah malah melayani.
Demikian pula misalnya jika masyarakat ingin beraudensi dengan presiden. Tidak perlu persiapan koordinasi jauh-jauh hari seperti kebiasaan presiden sebelumnya. Bisa lewat telepon 3 hari sebelumnya, maka bagian protokol istanalah yang kelabakan karena masih harus menyusun format baru.
untuk sekarang sepertinya perlu ditilik lagi bagaimana jokowi yang ‘hanya’ punya 20 m bisa menjadi presiden. banyak desas desus sana sini ada pihak yang ‘menunggangi’. mau gak mau memang kenyataan nya seperti itu.
Setuju…..publik perlu terus mengawal…