“Jumlah Janda Di Indramayu Bertambah”.
“Status Janda Meningkat Akibat Perceraian”.
“Suami Tega Memperkosa Istrinya Yang Sedang Sakit”
“Mengharukan, Pelaku Pemerkosa Nikahi Korbannya Di Penjara”.
Empat deretan kalimat di atas, adalah contoh judul berita yang sering kita temukan di media massa: mulai dari cetak, online, hingga media elektronik dan visual seperti radio dan televisi.
Dari keempat judul tersebut di awal tulisan ini, jelas hanyalah contoh kecil belaka. Betapa banyak konten berita atau tulisan yang tidak ramah gender.
Konten berita yang tidak sadar gender.
Wanita atau perempuan, selalu di posisi “korban”. Beda dengan pria atau laki-laki.
“Kalau jumlah janda meningkat, tentu jumlah duda juga begitu dong. Kalau janda makin banyak karena kasus perceraian, bagaimana dengan duda yang digugat cerai oleh istrinya?”, kata seorang teman wanita, sambil bercanda kepada saya.
Saya tentu bingung menjawabnya.
Kenapa Judul Berita Bukan Duda?
Kalau terjadi kasus perceraian, kata teman tadi, bukan hanya ada janda di pihak yang dicerai. Tapi juga ada duda di pihak yang mencerai. Begitu juga sebaliknya, jika suami menalak istrinya.
Kalau demikian yang terjadi, masih kata teman saya, lalu kenapa pihak sebelah saja yang menjadi obyek dan sumber berita.
Paling tidak dieksploitasi melalui judul berita. Di mana judul dan isinya, tetap mempertimbangkan masalah ramah gender.
“Jumlah Janda Di Indramayu Bertambah”. Ini satu contoh judul berita, kata teman saya. Kalau jumlah janda meningkat, kenapa gak judulnya juga ditulis, “Duda Pun Makin Bertebaran”, hahaha….
Sekali lagi, saya jadi bingung menjawabnya.
Apalagi sebagai orang yang berlatar belakang wartawan, pekerja media, jelas judul berita seperti di atas sudah bukan barang baru lagi bagi saya.
Artinya, masih sulit menemukan media yang ramah gender. Yang ada adalah media yang belum sadar gender, dan belum ramah gender.
Wanita Atau Perempuan?
Saya berusaha mencari jawaban kenapa bisa demikian. Betapa banyak konten berita atau tulisan yang tidak ramah gender. Sulit juga menemukannya.
Namun, justeru yang saya temukan, kalimat pertanyaan baru muncul: mana yang lebih terhormat wanita atau perempuan?
Sementara itu, yang namanya wanita atau perempuan, memang masih sering jadi korban ketidaksetaraan gender.
Contohnya, dalam setiap pemberitaan media atau tulisan para blogger dan netizen.
Mereka para wanita atau perempuan, seringkali di posisi yang tidak berdaya.
Di lain pihak, dalam sebutan
wanita atau perempuan, juga sering muncul pertanyaan: mana yang lebih terhormat?
Mengutip tulisan Yulianto dari sumber inspirasinya dari berita Harian Republika pada 20 Januari 2017, beberapa hal disebutkan seputar masalah gender tersebut. Pria atau wanita. Perempuan atau laki-laki.
Pernahkan kita berpikir, kenapa tanah air disebut ibu pertiwi bukan bapak pertiwi?
Kenapa pusat pemerintahan disebut Ibu kota bukan bapak kota?
Leluhur disebut nenek moyang bukan bapak moyang?
“Jari yang ukurannya paling besar disebut ibu jari?”, tulis Yulianto.
Beberapa frasa tersebut, kata dia, menunjukkan betapa mulianya perempuan. Itu sebabnya, dia lebih suka menyebut perempuan bukan wanita.
Sebenarnya, kedudukan laki-laki dan perempuan di dunia ini adalah sama. Namun di beberapa tempat, terdapat struktur sosial yang menempatkan perempuan lebih rendah daripada laki-laki.
Perempuan dinomorduakan, tidak mendapat tempat dalam kehidupan sosial, bahkan sampai tidak boleh menjabat sebagai pemimpin.
Di Timur Tengah misalnya. Masyarakat Timur Tengah telah lama hidup dalam alam patriarki (suatu adat masyarakat yang mengatur alur keturunan berasal dari pihak ayah) dan memandang laki-laki berada di atas perempuan.
Berdasarkan tafsir klasik, ditegaskan bahwa laki-laki dan perempuan itu berbeda, bukan hanya perbedaan biologis, namun juga derajat.
Padahal di Al-Qur’an, perempuan dan laki-laki berada dalam satu kesetaraan gender.
Dari sumber lain, saya mendapatkan penjelasan sebagai berikut:
Kata pria dan wanita merupakan kata serapan dari bahasa Sansekerta yang berarti jantan dan betina.
Beberapa sumber menuliskan bahwa perbedaan perempuan dan wanita adalah umur, di mana perempuan adalah sebutan anak-anak.
Sedangkan wanita adalah sebutan dewasa. Pendapat tersebut dianggap sangat tidak berdasar.
Tulisan saya di atas, tentu saja mencoba ingin merefleksikan pemikiran dan insight saya tentang bagaimana media agar bisa lebih ramah dan sadar gender.
Beberapa contoh yang kemukakan di atas, adalah fokus pada judul berita media. Namun tentu tidak tertutup kemungkinan bisa muncul juga di tulisan blog para blogger, atau netizen di sosial media mereka.
Selain beberapa film yang bias gender/bahas film yang mengangkat tema kesetaraan gender, maka media juga tak luput dari tindakan yang sama.
Artinya, media jarang menjadikan perempuan sebagai narasumber, atau perempuan jarang dimintai pendapat, atau video klip/cover majalah/acara TV yang banyak menampilkan perempuan sebagai objek dan sensualitas.
Semoga ke depan, makin banyak media yang ramah gender. Makin meningkat jumlah media yang sudah sadar gender sekaligus media ramah gender.
Kalau tidak diusahakan dari sekarang, lalu kapan lagi? Apakah para perempuan harus ditantang? Ayo perempuan, lawan konten yang tidak ramah gender!! Ayo lawan !!
Semoga tetap semangat memperjuangkan konten ramah gender. Aamiin.
Salam
(Nur Terbit)