Berburu berita gosip artis di daerah, ibarat mencari jarum yang jatuh di tumpukan jerami. Susah ketemu artis.
Apalagi cerita kehidupan asmara dan gosip cinta mereka. Beda dengan di ibukota Jakarta — yang sebentar lagi ibukota pindah ke Kalimantan hehe…
Nah, inilah pengalaman saya sewaktu jadi wartawan meliput dunia hiburan. Dari kisah artis di daerah, hingga artis ibukota. Tentu saja kebanyakan seputar cerita bagaimana sulitnya jadi peliput dan pemburu gosip antara di daerah dan di Jakarta.
Waktu masih jadi wartawan SKH Mimbar Karya di Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Tak banyak artis ataupun tak seramai kegiatan “dugem” (dunia gemerlap) yang bisa disajikan di media massa, terutama di media cetak seperti koran, tabloid dan majalah.
Era 1980-an di Kota Daeng, di mana hiburan hanya bisa dinikmati di layar bioskop, televisi belum ada stasiun televisi swasta, baru TVRI.
Itupun masih banyak yang siarannya hitam putih sesuai TV yang dimiliki masyarakat. Maka satu-satunya acara hiburan yang menghadirkan artis, yakni pada saat peringatan hari ulang tahun Kota Makassar. Selain artis lokal, terkadang didatangkan pula artis dari Jakarta.
Ini cerita saya saat liputan hiburan di lapangan olah raga Karebosi (kini bagian bawahnya dijadikan mal dan pusat perbelanjaan serta parkir kendaraan di bawah tanah). Ketika itu memperingati hari ulang tahun Kota Anging Mammiri, sebutan lain dari Kota Makassar, era 1980-an dengan Walikota Abustam.
Selain hiburan band, juga tampil artis penyanyi yang popular di zamannya: Iis Sugianto dan artis film Marini. Tentu saja, saat itu masih muda belia dan berparas cantik. Sebagai wartawan, kami bebas meliput dan menempati posisi di depan panggung hiburan.
Begitu juga ketika acara tuntas. Kami para wartawan ikut bergabung dengan para artis untuk makan malam di rumah dinas walikota. Letaknya di Jalan Penghibur, tepi Pantai Losari. Itulah kesempatan emas, bisa wawancara sekaligus foto dengan artis ibukota. Norak juga ya hehehe…
Hasil wawancara saya dengan Iis Sugianto dan Marini, kemudian saya setor ke redaktur di kantor esok harinya. Kedua artis ini bergantian mengisi rubrik profil di halaman depan. Saya cukup bangga melihat berita hasil wawancara saya dimuat mencolok di pojok bawah.
Tapi itu hanya saya saja sebagai penulisnya yang berbangga hati. Tidak demikian dengan Pemimpin Redaksi SKH Mimbar Karya, Mohammad Anis, ketika koran sudah dicetak dan beliau memimpin rapat redaksi.
“Liputan artis ibukota yang ditulis Nur, memang cukup bagus. Lumayanlah,” kata Pak Anis, panggilan akrab Pemred kami, sambil memuji. Hati saya langsung berbunga-bunga. Wow..
“Tapi……” Pak Anis tidak menerusakan ucapanya, ia berhenti sejenak. Lalu menatap semua yang hadir pada rapat redaksi. “Koran kita ini kalian semua tahu, pembaca dan pelanggannya kebanyakan pegawai negeri dan guru. Menurut saya, ya lebih baik wawancara pegawai tauladan, guru berprestasi, murid yang meraih banyak penghargaan. Mereka pasti senang, mereka pasti mau terus berlangganan”.
Ya, saya akhirnya sadar dan mulai mengikuti jalan pikiran pemimpin redaksi. Koran SKH Mimbar Karya, diakui atau tidak, menejemen pengelolaan redaksi dan sirkulasinya, mencontoh koran harian Suara Karya, terbitan Jakarta.
Saat ini koran tersebut termasuk Mimbar Karya Makassar, sudah tidak terbit lagi. Tapi ketika kedua koran ini masih beredar secara rutin, maka seluruh pegawai pemerintah, di seluruh Indonesia bahkan hingga ke pelosok desa, koran “plat merah” ini jadi langganan wajib. Kasarnya, mereka sedikit “dipaksa” berlangganan.
Sehingga kadang menggelikan. Misalnya, dalam satu rumah tangga di mana suami-istri adalah pegawai negeri, maka dua-duanya adalah pelanggan koran SKH Mimbar Karya. Tentu saja, kedua gaji mereka dipotong oleh bendahara setiap bulan untuk membayar langganan koran. Duh..
Berburu Gosip di Jakarta
Nah, bagaimana dengan di Jakarta? Ternyata jauh berbeda. Setidaknya yang saya alami ketika masuk ke dunia hiburan meliput kehiduppan para selebriti.
“Ada rasa beda dalam ‘mengejar’ gossip artis, kan? Hehehe. Salam, TS”…..
Itu kutipan komentar sohib saya, abang saya yang wartawan senior TS, ketika suatu saat saya menulis di Kompasiana “Pengalaman Sebagai Wartawan Pemburu Gosip”. Oh ya, TS adalah singkatan dari Thamrin Sonata yang di FB bernama Thamrin Sonata Thamrin. Beberapa bulan lalu, beliau sudah wafat. Alfatihah buat beliau, Semoga mendapat tempat layak di sisi-Nya.
Kepada TS pun saya lalu bernostalgia.
“Bang TS, waktu masih jaya-jayanya Meriam Bellina, Nurul Arifin di film hot era tahun 1980-an, saya dapat titipan pertanyaan dari redaktur saya di kantor. Katanya, ‘Nur kalau ketemu Meriam atau Nurul, tanyain nomor berapa BH-nya ya..!!!’.
Ha? Nanya nomor BH?
Begitu kagetnya saya mendapat titipan pertanyaan seperti itu. Maklum saya masih reporter muda dan masih “culun” dan “minderan” ketemu artis (sampai sekarang juga hehehe…)
Asal tahu saja, waktu itu jarang-jarang ada wartawan yang nakal bertanya soal bagian sensitif wanita, tidak seperti sekarang semua pertanyaan yang dilontarkan, yang ditanya juga akan menjawab blak-blakan bahkan cenderung vulgar.
Dulu nanya nomor BH kepada artis, dijamin bakal “ditimpuk” sepatu kita hehehe….. wartawan doeloe dan sekarang emang beda ya?
Nah, itulah pengalaman saya sewaktu jadi wartawan meliput dunia hiburan, tentu saja kebanyakan seputar cerita bagaimana sulitnya jadi peliput dan pemburu gossip di Jakarta.
Berburu berita gosip artis di daerah lain lagi. Seperti pada kalimat pembuka artikel saya di atas, “ibarat mencari jarum yang jatuh di tumpukan jerami”. Susah ketemu artis. Giliran dapat, pemred koran gak suka dan malah minta pelanggan korannya yang dijadikan tulisan profil hehehe…
Terima kasih, semoga artikel ini bermanfaat. Kalau pun tidak, anggaplah tulisan ini angin lalu dari sekedar berbagi dari mantan wartawan hiburan. Salam. (Nur Terbit)
Terima kasih untuk informasinya.
Untuk teman teman yang sedang mencari website khusus membahas tentang berita berita artis Indonesia bisa kunjungi website dibawah ini.
https://jenitaameliajen.wixsite.com/berita-artis
Terima kasih infonya Admin Berita Artis
Terima kasih infonya Berita Artis 🙏