Keluarga

Peran Perempuan Di Era Digital

Written by nurterbit

Kalau pasangan suami istri aktif mencari nafkah, kehidupan ekonomi akan lebih baik. Tapi jika perempuan tidak bekerja dan hanya di rumah saja, lalu apa yang bisa dilakukan?

Di sisi lain, jika perempuan mengikuti kesetaraan gender, berkarier dan sukses di luar rumah, maka para laki-laki merasa terintimidasi. Apalagi jika penghasilan pihak laki-laki (suami) lebih rendah perempuan (istri).

Sejumlah masalah di atas, menjadi bagian pembahasan pada diskusi bertajuk VIVATALK, “Perempuan Berdaya Indonesia Maju- Perempuan di Era Digital”. Acara yang digelar oleh Viva di Hotel Millenium, Jakarta, Selasa 3 Desember itu, untuk memperingati Hari Ibu tahun 2019.

Ingin tahu bagaimana serunya diskusi tersebut? Tonton video liputannya :

 

Henky HendrananthaChief Operating Officer at Viva Networks mengatakan, peringatan hari ibu bukan sekedar perayaan. Tetapi menjadi tonggak emansipasi, dan peran besar perempuan dalam kemerdekaan Republik Indonesia.

Menurut Henky, diskusi bertema “Perempuan Berdaya Indonesia Maju” ini dimaksudkan, mengajak masyarakat, sadar akan pentingnya kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Mendorong perempuan indonesia kreatif dan membuat indonesia maju.

Salah satu narasumber, Eko Bambang Sugiantoro dari Aliansi Laki-laki Baru, mendapat banyak pertanyaan dari peserta dari komunitas blogger. Umumnya perempuan. Hanya beberapa gelintir peserta pria.

Di antara penanya tersebut, saya memberanikan diri sebagai “pemerhati perempuan. Apakah masih relevan masalah gender, jika dikaitkan dengan pemahaman keagamaan masyarakat?

“Apalagi sejak lama sudah ada tertanam stigma di kalangan masyarakat, bahwa wanita cukuplah berkutat pada 3-UR = Dapur, Sumur, Kasur,” kata saya, disambut tawa yang hadir.

Seperti diketahui, stigma adalah berbagai pandangan orang yang menilai diri kita negatif, hal yang kita lakukan negatif sampai pemikiran kita negatif.

Menurut Eko, sebenarnya hampir setiap hari kita menerima stigma. Bisa dari teman, tetangga, orang lewat atau bahkan dari keluarga dan orang tua kita sendiri.

Pembicara lainnya, Dr Sri Danti Anwar, Pakar Gender mengatakan,
pemahaman agama yang kurang, harus terus diupayakan secara komprehensif dalam membentuk lingkungan keluarga yang harmonis. ini terkait pula dengan kesetaraan gender.

“Intinya, dalam keluarga pasangan suami-istri harus saling menghargai, saling mengingatkan, saling tolong-menolong dalam kaitan kesetaraan”, kata Sri Danti.

Kesetaraan gender, katanya, bukan bermaksud ingin mengalahkan posisi laki-laki. Tapi bagaimana keduanya sama-sama harus meningkatkan kualitas masing-masing demi kesejahteraan keluarga.

Selain itu, kesetaraan gender bukan untuk berkompetisi atau mendikotomi antara laki dan perempuan. Tapi bagaimana menggunakan potensi dan kualitas akan keluarganya.

Seperti visi misi Presiden Jokowi dalam program Indonesia Maju, mantan Gubernur DKI Jakarta dan Walikota Solo, fokus pada upaya meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM).

“Yakni bagaimana agar tahun 2030 bisa berkompetisi kalau separuh wanita Indonesia masih mengalami diskriminasi, tindak kekerasan, kurang mendapat perhatian dan sebagainya,” kata Sri Danti.

Jadi, isu ini masih relevan. Tinggal bagaimana kita punya keberpihakan dengan perempuan.

Karena itu, menurut Sri, yang perlu dilakukan bagaimana agar perempuan yang masih tertinggal, misalnya di bidang politik, kita bisa action.

“Yang terpenting ada keberpihakan dan diberikan kesempatan seluas-luasnya kepada perempuan,” katanya.

Ikut memberi materi, Indra Gunawan, Deputi Bidang Partisipasi Masyarakat, Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) Republik Indonesia.

Diskusi makin seru dengan kehadiran Diajeng Lestari, Founder HIJUP. Pemateri di sesi terakhir dari perempuan 33 tahun ini, adalah pengusaha fesyen e-commerce dan dulunya adalah karyawan swasta di sebuah perusahaan ternama (Nur Terbit)

Leave a Comment