Ekonomi Kuliner

Anugerah Pancawara, Penghargaan Bagi Pasar Rakyat Yang Merakyat

Written by nurterbit

Ketika diminta oleh isteri mengantar dia belanja — entah itu ke pasar, mal, atau pusat perbelanjaan lainnya — biasanya yang langsung terbayang bagi seorang suami adalah bagaimana capeknya mondar-mandir nanti di pasar.

Kenapa harus mondar-mandir? Biasalah. Mencari barang belanjaan yang cocok dan sesuai selera isteri dan…. murah. Nah, persoalan murahnya ini yang terkadang mengalahkan segalanya. Mengalahkan rasa capek naik tangga, lift, mengabaikan rasa haus dan lapar, dan tidak memperdulikan kaki yang pegal. Semua itu “ora urus” kata teman saya dari Jawa.

Ini memang sebagian besar yang saya akan ceritakan, adalah pengalaman pribadi, tapi agaknya sudah menjadi “masalah nasional” hehehe….Artinya, hampir begitulah yang dialami oleh semua para “suami siaga” saat diminta oleh isteri mereka menemani belanja ke pasar.

Narsis di acara Anugerah Pancawarna bagi pasar rakyat di Kementerian Perdagangan Jakarta (foto dok pribadi)

Narsis berdua istri di acara Anugerah Pancawarna bagi pasar rakyat di Kementerian Perdagangan Jakarta (foto dok pribadi)

Apa yang terbayang di benak para suami? Minimal seperti kejadian berikut ini. Saat sudah ketemu barang yang mau dibeli, eh harganya yang belum pas. Ketika harga sudah cocok, malah masih mencari tempat lain yang (mungkin) bisa lebih murah lagi. Ya, meski itu cuma selisih beberapa ribu rupiah.

Sekali waktu, saya juga diminta menemani isteri belanja ke Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat. Karena pasarnya yang bertingkat, luas dan ramai transaksi pedagang dan pembeli, maka saya izin kepada isteri agar menunggu saja di satu tempat di dalam pasar. Dan lokasi yang cocok, adalah menunggu di mesjid atau musholah pasar.

Tak disangka, bukan hanya saya saja yang menunggu isteri belanja, tapi hampir sebagian besar jamaah mesjid tersebut adalah para suami yang juga sedang menunggu isterinya belanja hahaha….

Itu kalau pasar modern atau, katakanlah, belanja di mal. Beda lagi kalau belanja di pasar tradisional. Pasar tradisional ini memang identik dengan kondisi kumuh, becek, ada parkir liar, tidak nyaman dan tentu saja keamanannya tidak terjamin.

Baca Juga : MAMPIR BELANJA DI “PASAR JOKOWI” DI PLERED PURWAKARTA

Kondisi pasar tradisional, atau disebut juga dengan pasar rakyat, menjadi perhatian dari Kementerian Perdagangan, Yayasan Danamon Peduli dan Majalah SWA. Bahkan memberikan anugerah atau penghargaan kepada pengelola pasar rakyat.

Caranya, ketiga institusi tersebut lalu memantau kemudian memilih pengelola pasar rakyat yang dianggap berhasil. Indikator keberhasilan tersebut, ya antara lain karena kondisi pasarnya bersih, nyaman dan manusiawi antara pembeli dengan penjual. Pengelola pasar yang dianggap berhasil berhak menerima “Anugerah Pancawarna”.

Para pengelolan pasar saat menerima Anugerah Pancawarna bagi pasar rakyat di Kementerian Perdagangan Jakarta (foto dok pribadi Nur Terbit)

Para pengelolan pasar saat menerima Anugerah Pancawarna bagi pasar rakyat di Kementerian Perdagangan Jakarta (foto dok pribadi Nur Terbit)

Anugerah Pancawara sendiri adalah penghargaan yang diberikan kepada pengelola pasar rakyat baik yang di bawah binaan Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), maupun swasta.

Pengelola pasarnya dinilai telah berhasil mengelola, mengembangkan, dan melakukan inovasi untuk kemajuan pasar rakyat di Indonesia.

ACARA PEMBERIAN
ANUGERAH PANCAWARA

Pemberian Anugerah Pancawara yang diprakarsai oleh Yayasan Danamon Peduli bekerjasama dengan Majalah SWA ini, digelar di auditorium kantor Kementerian Perdagangan Kamis siang, 26 Oktber 2017 silam. Saya ikut hadir sebagai undangan mewakili komunitas blogger.

Adapun penghargaan tersebut diberikan untuk beberapa kategori. Di antaranya :

1. Kategori Pasar Rakyat Pemerintah Daerah  Tipe I dan II diraih oleh  Pasar Rejowinangun dengan inovasi “Pengembangan  Pasar rakyat  Sebaai Ruang  Sosial Budaya”.

2. kategori Pasar Rakyat  Pemerintah Daerah Tipe III dan IV diraih oleh  Pasar Sindhu Sanur dengan inovasi “Swakelola dan Pengembangan Wisata Kuliner Malam”.

3. Kategori Pasar Rakyat Perusahaan  Daerah/BUMD diraih olehTim Pasar Koja  Baru, PD Pasar Jaya dengan inovasi “Pengelolaan sarana – prasarana Pasar secara Sinergis”.

Lalu apa itu Pancawara? Seorang teman blogger saya yang orang Jawa, Yusep Hendarsyah (Papi Ky), menulis di blognya arti kata dari Pancawara itu.

“Panca artinya lima dan wara adalah hari. Garis besarnya adalah nama dari sebuah pekan atau minggu yang terdiri dari 5 hari dalam budaya Jawa dan Bali,” tulisnya.

Ini menyambung juga dengan istilah yang dipergunakan Kementerian Perdagangan dan Yayasan Danamon Peduli. Pancawara menurut keduanya, disebut sebagai hari pasaran dalam bahasa Jawa karena beberapa pasar tradisional pada zaman dahulu hanya buka pada hari tertentu saja.

Misal Pasar Legi dan Pasar Pon di Solo, hanya buka pada hari Legi dan Pon saja dalam satu minggu kalender Jawa (siklus 5 hari). Dalam sistem penanggalan Jawa dan Bali, terdapat 2 macam siklus waktu: siklus mingguan dan siklus pasaran. Dalam siklus mingguan, satu minggu dibagi menjadi 7 hari, seperti yang kita kenal sekarang (Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, dan Minggu) .

“Pasar itu adalah tempat penularan penyakit, pasar juga membuat masyarakat sehat karena apa yang dijual  dan membuat sakit juga ada di pasar”, kata Bayu Krisnamurthi Ketua Dewan Pembina Yayasan Danamon Peduli.

Berbagi pengalaman di depan wartawan dan blogger cara pengelolan pasar yang menerima Anugerah Pancawarna bagi pasar rakyat di Kementerian Perdagangan Jakarta (foto dok pribadi Nur Terbit)

Berbagi pengalaman di depan wartawan dan blogger cara pengelolan pasar yang menerima Anugerah Pancawarna bagi pasar rakyat di Kementerian Perdagangan Jakarta (foto dok pribadi Nur Terbit)

Danamon  Group, kata Bayu, mencoba membangun  pasar sejahtera  hijau bersih dan terawat. Danamon juga giat membantu masyarakat melalui pengembangan pasar. Pasar adalah tempat berkumpul dan tempat kehidupan berlangsung.

Pasar rakyat sendiri adalah pasar yang dimiliki warga setempat, meski ada yang namanya pasar swasta yang juga diawasi dan dilindungi oleh pemerintah.

Pasar rakyat bisa menjadi pasar modern bila ada kemauan dan keingian dari segenap komponen pemilik dan pengelola pasar seperti pasar Sindhu, Slanur di Bali yang dinakhodai oleh Pak I Made Sukadana, Kepala Pasar  Rakyat yang berasal dari  Bali. Inovasinya yang terkenal adalah “Inovasi Swakelola dan Pengembangan Wisata Kuliner Malam”.

“Kami olah dan kami buat agar pedagang yang sering didatangi oleh pembeli, kami taruh di belakang posisinya. Tujuannya agar pembeli melewati pedagang- pedagang lainnya di depan dan terjadilah transaksi pembelian di sana,” ujar I Made.

Bersama Pak I Made, Kepala Pasar Shindu, Sanur, Denpasar, Bali, di Kementerian Perdagangan Jakarta (foto dok pribadi Nur Terbit)

Bersama Pak I Made, Kepala Pasar Shindu, Sanur, Denpasar, Bali, di Kementerian Perdagangan Jakarta (foto dok pribadi Nur Terbit)

Inovasi dari pengelola pasar di masing masing daerah perlu digalakan dan disosialisasikan, kalau perlu Pemerintah Pusat menjadikan Hari Pasar sebagai Hari Nasional.

Pasar Sanur misalnya, berdiri tahun 1976 berasal dari inisiatif masyarakat adat itu sendiri dan dananya berasal dari  para pedagang. Kondisi pasarnya bersih. Pengaturan pedagangnya juga tertib.

Waktu 27 Oktober 2017 silam, saya dan istri sempat mampir berbelanja di Pasar Shindu Sanur saat liburan ke Bali. Ya, sehari setelah pasar ini menerima Anugerah Pancawara, dan bertemu Pak I Made Sukadana, Kepala Pasar Rakyat Shindu, saat menerima penghargaan di kantor Kementerian Perdagangan, di Jakarta.

Pasar ini buka dari pagi sampai siang pukul 12.00 WIB. Menjelang sore, pasar Shindu berubah menjadi tempat kuliner. Sekaligus sebagai destinasi wisata bagi turis domestik dan mancanegara.

Seorang pedagang Pasar Shindu, Nursalim asal Lamongan, Jawa Timur mengaku penerapan disiplin terutama dalam hal kebersihan bagi pedagang, sangat ketat di pasar ini.

“Sebenarnya ini bukan pasar rakyat Mas, tapi lebih tepat disebut sebagai Mal. Soal kebersihannya minta ampun deh Mas, ada air tumpah sedikit atau ceceran sampah, harus segera dibersihkan,” kata Nursalim.

Bersama Pak I Made, Kepala Pasar Shindu, Sanur, Denpasar, Bali, di Kementerian Perdagangan Jakarta (foto dok pribadi Nur Terbit)

Berpose di depan Pasar Shindu, Sanur, Denpasar saat liburan ke Bali (foto dok pribadi Nur Terbit)

Pengakuan tersebut disampaikan kepada saya, saatnsaya temui di depan tenda usahanya di halaman pasar. “Saya lebih memilih di luar pasar, kalau di dalam gak bebas, super ketat,” katanya.

Wajar saja ya jika mendapat Anugerah Pancawara. Selamat deh untuk warga Bali, terutama bagi pedagang Shindu di Sanur, Kota Denpasar. Juga Pak I Made Sukadana, sebagai Kepala Pasar  Rakyat Shindu. Sukses semuanya (Nur Terbit)

Suasana malam hari di Pasar Shindu, Sanur, Denpasar, Bali. Pengunjungnya rata-rata orang bule (foto dok pribadi Nur Terbit)

Suasana malam hari di Pasar Shindu, Sanur, Denpasar, Bali. Pengunjungnya rata-rata orang bule (foto dok pribadi Nur Terbit)

Leave a Comment