Sosok

Ibu Saya, Profesor Lulusan Sekolah Rakyat

Ibu saya, Hajjah Sitti Maryam Puang Mene, foto bersama bapak, Haji Muhammad Bakri Puang Boko semasih pengantin baru (foto dok pribadi)
Ibu saya, Hajjah Sitti Maryam Puang Mene, foto bersama bapak, Haji Muhammad Bakri Puang Boko semasih pengantin baru (foto dok pribadi)
Written by nurterbit

Tulisan ini awalnya rangkaian status di facebook dalam memperingati Hari Ibu, 22 Desember 2014 silam. Lalu karena cukup panjang, saya memindahkannya ke blog pribadi yang Anda baca sekarang ini.

Saya tiba-tiba teringat beliau, Hajjah Sitti Maryam Puang Mene, sosok seorang ibu, “guru”, dan “dosen” serta “profesor”bagi anak-anaknya meski hanya tamat sekolah rakyat (SR). Ibu juga tak sempat lagi melihat kami diwisuda. Atau mendengar saya sudah berusaha menyelesaikan S2 saya. Bahkan tak juga menyaksikan ketika salah seorang adik kami dikukuhkan sebagai guru besar (profesor) di salah satu perguruan tinggi negeri di Makassar. Ibu keburu wafat disaat kami semua masih tertatih-tatih mengurusi mata pelajaran di bangku sekolah.

*****

Saya anak ketiga dari tujuh bersaudara. Saya anak lelaki tertua. Dua kakak saya adalah perempuan, sedang adik2 saya: tiga lelaki satu perempuan. Dari tujuh orang itulah, tinggal empat orang yang masih hidup. Kami dari keluarga sederhana. Ayah saya, Haji Muhammad Bakri Puang Boko, hanyalah seorang pensiunan PNS dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, P dan K (sekarang Kementerian Pendidikan Nasional, Kemendiknas) di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Ibu saya adalah perempuan biasa, asli ibu rumah tangga. Pendidikan hanya lulusan Sekolah Rakyat (SR).

Sebagai lelaki tertua dalam keluarga, perlakuan ibu terhadap saya cenderung berlebihan. Ketika saya memanjat pohon mangga atau nangka di halaman rumah misalnya, tiba-tiba ibu datang marah-marah, lalu menyuruh turun dan meminta kakak perempuan saya menggantikan memanjat pohon. Aneh kan?

“Kasihan adekmu kalau jatuh dari atas pohon, kamu saja yang menggantikan memanjat,” kata ibu kepada kakak perempuan saya. Padahal, ibu tak pernah tahu kalau sesudah itu, entah sudah berapa kali saya terjatuh dari pohon, atau terlempar dari rumah panggung khas Makassar, saat mendorong paksa daun jendela agar terbuka, hehehe…

Sampai urusan kecil, ibu memang sangat dominan dari ayah. Malam hari ketika rumah kami masih menggunakan petromaks sebagai lampu penerangan, pukul 20.00 adalah batas terakhir kami semua sudah harus berada di rumah. Semua diabsen. Kadang-kadang saat diabsen itu, saya kadang-kadang masih keluyuran di luar rumah. Bermain bersama teman-teman sebaya di pasar. Kebetulan rumah saya memang tak jauh dari Pasar Mandai.

Untuk urusan sekolah, ayah menurut saja apa kata ibu. Ibulah yang menginginkan saya kelak jadi ustadz, jadi kiyai, penceramah, pendakwah. Atau minimal jadi imam lingkungan, menggantikan kakek dari pihak ibu. Lalu saya di sekolahkan di sekolah agama, madrasah.

Belakangan saya terdampar di sekolah Pendidikan Guru Agama (PGA). Lalu meneruskan ke Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Alauddin, Makassar. Sekarang sudah berganti nama Universitas Islam Negeri (UIN). Ketika harus kuliah dan tinggal di kos-kosan di Gunung Sari tak jauh dari kampus Alauddin, ibu sempat protes. Rupanya, ia tak ingin jauh dari anaknya…hehehe…

Saya mengambil jurusan Fakultas Syariah dan Hukum. Paman saya beralasan, kalau lulus bisa jadi hakim di pengadilan agama. “Tunjangan hakim itu besar, lumayan dibanding jadi pegawai negeri biasa,” katanya.

Memang akhirnya tak jadi guru selepas lulus dari PGA, tapi pertimbangan paman saya, kuliah di Fakultas Syari’ah, biar nanti gampang diterima jadi pegawai Departemen Agama (Kementeruan Agama, Kemenag sekarang). Nyatanya tidak jadi juga. Lulusan SMA ketika itu, memang sulit diterima jadi pegawai negeri. Meski sempat ikut ujian penerimaan calon pegawai kantor Gubernur Sulawesi Selatan di Stadion Mattoanging, malah belakangan jadi wartawan.

“Tidak jadi pegawai negeri Departemen Agama, gagal jadi ustadz dan kiyai, tapi tetap meneruskan berdakwah lewat tulisan. Ya..jadi wartawan, perannya sama, berdakwah lewat berita dan tulisan,” hibur diri saya.

Ibu bersama bapak semasih pengantin baru (foto dok pribadi)

Ibu bersama bapak semasih pengantin baru (foto dok pribadi)

Kenapa orang tua menginginkan saya jadi imam? Posisi seorang imam, sangat dihormati di kalangan keluarga kami, atau bahkan oleh orang sekampung. Kakek saya seorang imam, penghulu dan imam besar di mesjid di kampung kami: Nurul Yaqin, tempat ibadah yang menjadi wakaf dari kakek kami.

Kenapa harus saya? Mungkin karena latar belakang pendidikan agama saya yang dari IAIN. Paman saya — yang ketika itu menjelang berakhir jabatannya sebagai imam menggantikan posisi kakek dengan jabatan serupa yang turun-temurun sebagai imam — sempat memaksa saya pulang kampung, saat masih berada di rantau (Jakarta), untuk ikut ujian seleksi jadi imam di Kota Makassar. Harapan ini tak kesampaian. Saya lebih memilih jadi wartawan di Jakarta.

Tahun pertama perkuliahan di Fakultas Syari;ah IAIN Alauddin Makassar, ibu saya wafat. Kami kehilangan sosok seorang ibu, guru, dan dosen bagi anak-anaknya. Tentu saja, ibu tak sempat lagi melihat kami diwisuda. Juga ketika salah seorang adik kami dikukuhkan sebagai guru besar (profesor) di salah satu perguruan tinggi negeri di Makassar. Tapi kami yakin, ibu pasti bahagia dan tersenyum dari kejauhan, melihat anak-anaknya sudah berhasil jadi “orang”. Terima kasih ibu. Selamat hari ibu, 22 Desember 2014

Leave a Comment