Kolom Pers

Saya, Harmoko dan Harian Terbit

Foto : Tempo.co
Foto : Tempo.co
Written by nurterbit

Tahun 1978 – 1979-an, adalah peristiwa saya pertama kali mengenal nama Pak HARMOKO, mantan  Ketua Umum Partai Golkar, mantan Ketua MPR, mantan Menteri Penerangan era Presiden RI Soeharto, rezim Orde Baru.

Ketika itu beliau masih menjabat Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, dan sering mampir di kota saya atau muncul di mass media cetak atau TVRI. Belakangan saya menemukan nama beliau ditulis oleh mass media : Harmoko, lahir di Patianrowo, Nganjuk, Jawa Timur, 7 Februari 1939.

Kenapa saya kenal nama beliau, ya tentu saja karena ketika itu saya baru memulai mengenal dunia kewartawanan sebagai wartawan lokal, atau koran daerah di Makassar, Sulawesi Selatan. Sebelumnya sambil kuliah di IAIN Alauddin, saya hanyalah penulis cerita anak, cerita pendek, artikel di koran tertua di Indonesia Bagian Timur yang kini sudah almarhum: Harian PEDOMAN RAKYAT. Koran ini dipimpin Pak L.E Manuhua yang sudah almarhum pula.

Sebagai wartawan muda, atau wartawan pemula yang kebetulan tinggal dan bertugas meliput kejadian di daerah, Pak Harmoko memang akhirnya menjadi salah satu tokoh pers nasional yang menjadi idola saya. Maklum, di daerah khususnya di kota Makassar, sudah sering disebut-sebut nama beliau di kalangan wartawan senior, sebagai “orang media” yang cukup berhasil dan memiliki perusahaan penerbitan besar dengan kelompok media POS KOTA GRUP.

Sebagai wartawan koresponden Harian Terbit - Pos Kota Perwakilan Sulawesi, menjelajah pelosok desa di Sulawesi Selatan dengan kendaraan operasional Harian Terbit. (dok Nur Terbit)

Sebagai wartawan koresponden Harian Terbit – Pos Kota Perwakilan Sulawesi, menjelajah pelosok desa di Sulawesi Selatan dengan kendaraan operasional Harian Terbit. (dok Nur Terbit)

Bergabung di Harian Terbit

Perkenalan saya dengan Pak Harmoko mulai makin dekat, saat saya bergabung menjadi koresponden (wartawan daerah) di HARIAN TERBIT, koran sore milik Pak Harmoko yang juga adik kandung dari Harian Pos Kota, untuk perwakilan Indonesia Timur berkedudukan di Kota Makassar — dulu masih bernama Kota Madya Ujung Pandang (KMUP) dengan Walikota Muhammad Daeng Patompo. Itu terjadi pada sekitar tahun 1979 – 1984, selanjutnya tahun tahun 1984 saya kemudian hijerah ke Jakarta bergabung di redaksi Harian Terbit hingga sekarang, saat saya ketik artikel ini.

Kepergian saya ke Jakarta, belakangan disusul oleh Hj Rabiatun Drakel, Muhamad Said Mochtar, teman koresponden Harian Terbit yang lain. Said Mochtar belakangan banting stir jadi pengacara, meski dia masih mencoba menerbitkan Tabloid KONSTITUSI. Selama di Makassar, banyak berita-berita Harian Terbit yang sempat bikin heboh: antara lain kasus pembunuhan Bupati Bone, penemuan mayat wanita hamil tanpa kepala, perselingkuhan Bupati Selayar, korupsi APBD Makassar, komersialisasi foto Gubernur, hingga berita tenggelam KM Tampomas. Suatu hari kiriman Koran dari Jakarta terbatas, Koran terpaksa difotocopi dan itu pun laku keras, hehe..

Koran Harian Terbit sendiri bisa beredar di Sulawesi Selatan, ada sejarahnya yang panjang. Bermula saat Muhammad Thahir Ramli (almarhum), yang sehari-hari sebagai intel Kodam Hasanuddin yang masih aktif tapi berminat besar di dunia wartawan, memutuskan kerjasama pengembangan usaha koran dengan Zainal Bintang, Pemimpin Redaksi BARATA MINGGU, dalam mengelola koran mingguan di wilayah Sulawesi Selatan. Dari keterangan yang saya kumpulkan ketika itu, rupanya bersamaan saat itu Pak Thahir Ramli ini tengah “berseteru” dengan pengurus PWI Cabang Sulsel (Diketuai Rahman Arge, Pimpinan Redaksi Mingguan POS MAKASSAR) yang menolak kehadiran komunitas KKM (Kelompok Koresponden Makassar) dimana Pak Thahir Ramli bersama koresponden media ibukota lainnya sebagai pengurus. Di antaranya Fahmi Miala (Koresponden Harian KOMPAS), Burhanuddin Amin (Harian PELITA), Charles Artaka (Harian MERDEKA), Andi Syahrir Makkuradde (Majalah TEMPO), Mahaji Noesa (Majalah Selecta Grup). (Fahmi Miala dan Andi Syahrir, sudah almarhum, pen).

Dari cerita almarhum Thahir Ramli kepada saya, akhirnya saya tahu bahwa dari konflik kepengurusan organisasi wartawan dan pemutusan perkongsian peredaran Koran Barata di Makassar inilah, kemudian pak Thahir Ramli mengadukan kasus dan masalahnya ke pak Harmoko sebagai ketua PWI Pusat. Selesai mengadu ke Pak Harmoko di kantor PWI Pusat, yang menyatu dengan gedung Dewan Pers di Jl Kebon Siri, Jakarta Pusat ini, kemudian “Bung Taher” – sapaan akrab Pak Harmoko kepada Pak Thahir Ramli — kemudian pamit mau ke tempat Pak Charlie Siahaan, Pemimpin Redaksi Harian SINAR PAGI. Maksudnya menawarkan diri sebagai kepala perwakilan Sinar Pagi di Makassar.

“Kalau sekedar mau mengelola Koran ibukota di Makassar, saya juga punya koran koq Bung Taher, namanya Harian Terbit, Bung aja yang pegang di sana,” kata Pak Harmoko. Tawaran tersebut tidak disia-akan. Menurut Pak Harmoko ketika itu, Harian Terbit adalah nama baru dari harian POS SORE yang dibredel rezim Orde Baru. Pemimpin Redaksinya ketika itu dijabat HRS Hadikamajaya dengan dewan redaksi antara lain H. Tahar, Zaidin Wahab, Abiyasa. Sedang wartawannya antara lain Tarman Azzam (terakhir Pemred Harian Terbit, mantan Ketua PWI Pusat), Abdullah Lahay, Adjie Subela, Freddy Hetaria, Ardy Syarif, Hariyadi, Nuh Nasution, Sayuti Sofyan.

Tim Harian Terbit Jakarta pada lomba gerak jalan memperingati Hari Pers Nasional, di silang Monas, 1985

Tim Harian Terbit Jakarta pada lomba gerak jalan memperingati Hari Pers Nasional, di silang Monas, 1985

Pak Harmoko Jadi Menteri

Pengalaman sepele tapi sangat berkesan bagi saya pribadi, adalah saat Pak Harmoko mampir ke Makassar (1984), untuk menerima PENA EMAS — penghargaan sebagai tokoh Pers Nasional yang dianggap berhasil memajukan dunia kewartawan – dari Gubernur Sulawesi Selatan, Prof DR Andi Amiruddin. Kenapa saya anggap berkesan, padahal yang menerima penghargaan itu sendiri kan bukan saya?

Nah begini ceritanya. Pak Harmoko rupanya ke Makassar cuma datang “berlenggang”. Gak ada persiapan. Cuma pakai baju biasa, pakaian seadanya. Artinya, beliau tidak tahu kalau ada acara seremonial segala, dan diliput media daerah. Nah, selain saya ditugasi oleh Pak Thahir Ramli mengurus akomodasi beliau selama di Makassar, ada tambahan tugas lain: mencari baju jas. Ya, baju jas untuk dipakai Pak Harmoko menerima penghargaan dari Gubernur Sulsel, esok harinya. Baju Jas itupun saya dapatkan dengan susah payah di tukang jahit baju jas di Pasar Sentral Makassar. Tukang jahit jasnya sekarang sudah pindah entah ke mana, menyusul pasar Sentral yang terbakar hehehe…

Pengalaman berkesan berikutnya, adalah saat “kedatangan” yang kedua kalinya Pak Harmoko ke Makassar. Tapi kali ini yang datang cuma kabar beritanya melalui TVRI, yakni Pak Harmoko diangkat sebagai Menteri Penerangan oleh Presiden Soeharto. Kami wartawan menggelar syukuran sebab “bos wartawan” seluruh Indonesia diangkat sebagai menteri. Jabatan langka di birokrasi bagi profesi wartawan, setelah sebelumnya wartawan senior Adam Malik, diangkat jadi Wakil Presiden RI. Acara syukuran terheboh, ya yang digelar di sebuah gedung berlantai dua mirip ruko, di Jalan Penghibur, Kota Makassar menghadap ke bibir Pantai Losari. Itulah kantor HARIAN TERBIT – POS KOTA Perwakilan Indonesia Timur.

Pak Harmoko di atas kursi roda, beberapa tahun terakhir (foto : Tempo.co)

Pak Harmoko di atas kursi roda, beberapa tahun terakhir (foto : Tempo.co)

Sekarang setelah 33 tahun berlalu, menjelang Harian Terbit peralihan menejemen baru per 1 Januari 2014 ini, saya tidak pernah bertemu lagi Pak Harmoko. Baik saat masih duduk di birokrasi, di legislatif maupun setelah “lengser keprabon”. Yang ada, ya hamper setiap saat saya melewati bekas ruangannya di Harian Terbit, meminjam satu ruangan di percetakan PT Metro Pos, di Kawasan Industri Pulogadung, Jakarta Timur.

Sekali waktu di awal tahun 2012, Pak Harmoko mampir ke Pulogadung untuk shalat jumat di mesjid PT Metro Pos. Saya sempat menyalami beliau. Setelah basa-basi menanyakan kesehatan beliau, saya beranikan memperkenal diri, “Saya Nur Aliem pak, bekas anak buahnya Bung Taher, Kepala Perwakilan Harian Terbit Makassar,” kata saya. Pak Harmoko masih menyisakan senyum khasnya, meski garis ketuaannya tak bisa disembunyikan.

Itulah secuil kesan saya dengan HARMOKO dan HARIAN TERBIT, seperti judul tulisan ini. Bagi orang lain, mungkin tidak ada artinya, tapi bagi saya sangat berkesan sebab melalui HARMOKO dan HARIAN TERBIT-lah saya menemukan “dunia kedua” bernama dunia wartawan. Pengalaman yang sangat mahal.

Bekasi, 27 Desember 2013, Jumat pk. 10.30 Wib

Salam

Nur TERBIT

Kenangan saat Harian Terbit menerima piala Adinegoro, bidang tajuk rencana Adinegoro adalah penghargaan tertinggi untuk karya jurnalistik dari PWI Pusat. Sekarang penghargaan ini sudah tidak ada, tapi diteruskan oleh PWI DKI Jakarta dengan penghargaan MH Thamrin (foto dok pribadi Nur Terbit)

Kenangan saat Harian Terbit menerima piala Adinegoro, bidang tajuk rencana Adinegoro adalah penghargaan tertinggi untuk karya jurnalistik dari PWI Pusat. Sekarang penghargaan ini sudah tidak ada, tapi diteruskan oleh PWI DKI Jakarta dengan penghargaan MH Thamrin (foto dok pribadi Nur Terbit)

2 Comments

Leave a Comment