Harian Terbit adalah salah satu surat kabar sore yang terbit 7 kali seminggu sore hari di Ibukota Jakarta. Koran ini masih satu grup dengan Harian Pos Kota, saham terbesar dipegang Harmoko, mantan Menteri Penerangan dan Ketua MPR zaman Soeharto. Koran Harian Terbit sebelumnya bernama Pos Sore. Namun dibredel (diberangus) di era pemerintahan Orde Baru.
Kemudian beredar kembali dengan nama “Harian Terbit” berdasarkan Surat Keputusan Menteri Penerangan Republik Indonesia Nomor 093/SK/MENPEN/SIUPP/A.7/1986 tentang Pemberian Surat Izin Usaha Penerbitan Pers tanggal 15 Maret 1986 yang ditandatangani oleh Sukarno SH, Direktur Jenderal Pembinaan Pers dan Grafika, atas nama Menteri Penerangan.
Surat permohonan SIUPP diajukan oleh perusahaan/penerbit pers PT Surya Kota Jaya beralamat Jl. Gajah Mada No.100 Jakarta Barat dengan No.050/SKJ/XII/1985 tanggal 23 Desember 1985.
Adapun susunan pengasuh penerbitan ini berdasarkan SIUPP adalah Pemimpin Umum HRS Hadikamadjaja (sudah almarhum), Pemimpin Redaksi HRS. Hadikamadjaja, Pemimpin Perusahaan E. Soebekti, dicetak di percetakan PT Metropos, Jl Pulogadung No.15 Kawasan Industri Jakarta Timur.
Oplah yang diajukan sebagai edisi perdana adalah 20.000 eksamplar untuk sekali cetak perhari. Dengan misi/isi pemberitaan: umum, jumlah halaman 8 (delapan) dengan ukuran penerbitan 44 x 58 cm. Kantor redaksi di Kawasan Industri Pulogadung, menyatu dengan percetakan PT Metropos.
Penulis sendiri mulai bergabung sejak tahun 1980-an sebagai koresponden atau wartawan yang berkedudukan di luar Jakarta, yakni di Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Gaji pertama penulis adalah dibayar berupa honor berdasarkan berita atau tulisan yang dikirim dari Makassar lalu dimuat oleh redaksi di Jakarta. Selanjutnya terhitung sejak September 1984 penulis pindah ke Jakarta dan resmi sebagai reporter atau wartawan bergaji Rp 60.000/bulan.
Pola Pengangkatan Wartawan
Selama jadi wartawan Harian Terbit, beberapa kali perusahaan menerima karyawan maupun wartawan (rekrut). Rata-rata mereka lulusan S1 perguruan tinggi yang semula magang di Harian Terbit.
Setelah magang selesai, mereka lalu melamar jadi wartawan dan resmi diterima. Tapi tidak sedikit yang menjadi wartawan karena memang sebelumnya adalah pegawai staf redaksi atau bagain iklan, pemasaran, lay out yang ingin mengadu nasib.
Penulis sendiri yang sudah bergabung sejak madih sebagai koresponden di daerah Makassar, juga harus tetap mengikuti prosedur magang beberapa bulan di Jakarta lalu kemudian diangkat secara resmi sebagai wartawan tetap. Celakanya, sebab masa kerja sebagai koresponden di daerah tidak dihitung, namun hanya diberi dispensasi dengan langsung diterima sebagai reporter tanpa test, meski harus tetap menjalani proses magang.
Dari wartawan bidang perkotaan, ekonomi, agama, politik, olah raga, hiburan, kesehatan, pendidikan dan lain-lain.
Termasuk tentu saja penulis. Semua bidang dan pos penugasan sudah semua saya jalani, kecuali menjadi wartawan istana. Seleksinya ketat. Tapi, ada pengalaman menarik saya sewaktu liputan di dunia hiburan, tepatnya sebagai “wartawan gosip”. Saya dapat titipan pertanyaan dari kantor agar artis yang diwawancarai ditanya nomor BH-nya. Waduh…
Baca juga : Wartawan Gosip, BH-nya Nomor Berapa?
Setelah melewati semua bidang liputan, biasanya wartawan yang bersangkutan — karena sudah dianggap “senior” — lalu ditarik dari lapangan mengisi jabatan redaktur mengawasi dan menjadi penanggung jawab halaman atau rubrik bidang liputan tertentu. Bisa juga menjadi asisten redaktur sebelum jadi redaktur tetap. Tapi tidak semua yang diangkat ini karena dianggap berprestasi, ada juga yang ditarik dari lapangan dan mengisi jabatan sebagai redaktur karena “hukuman” atau “buangan”. Jenjang karier seorang wartawan terkesan tidak jelas.
Pola Pengupahan Wartawan
Sepanjang pengalaman dan pengetahuan penulis selama menjadi wartawan di Harian Terbit, standar gaji yang diberikan perusahaan di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP). Ini pula yang menjadi sorotan penelitian penulis saat membuat tesis untuk penyelasian program S2 di Universitas Islam Jakarta. Judul tesis Pola Pemberian Upah Untuk Kesejahteraan Wartawan Surat Kabar di Provinsi DKI Jakarta.
Di dalam uraian pada bagian yang mengulas soal upah di tesis ini, setiap wartawan menerima gaji (upah) yang kurang layak untuk hidup di kota besar seperti Jakarta ini. Selain gaji bulanan, wartawan juga menerima uang transport perminggu, uang beras setiap pertengahan bulan, uang tunjangan hari raya (THR) satu setengah bulan gaji, bonus ulang tahun perusahaan untuk satu bulan gaji, dan uang kesehatan yang diterima sekali setahun. Adapun asuransi dan Jamsostek baru ada setelah inisiatif wartawan sendiri dengan premi dipotong dari gaji setiap bulan.
Berkali-kali pula koran Harian Terbit diterpa badai karena kesulitan ekonomi. Biaya operasional sebagai koran harian, sering kali kedodoran karena tidak bisa tertutupi dari uang langganan koran dan pembayaran iklan. Hal ini yang sering memusingkan pimpinan terutama di bagian pengendali redaksi dan usaha. Salah satu kendala utama, karena sempitnya masa edar untuk ukuran koran sore, belum lagi gangguan cuaca hujan yang terkadang membuat koran tidak laku atau rertur (balik) lagi ke percetakan.
Isu yang selalu ditiupkan pihak perusahaan bahwa koran selau merugi, terjadi kebocoran keuangan, harga kertas dan tinta naik, para agen ngutang setoran koran atau relasi belum membayar uang iklan, menjadi santapan sehari-hari bagi wartawan dan karyawan.
Berkali-kali pula dikabarkan koran ini mau dijual ke pihak lain, atau ditutup begitu saja karena alasan merugi. Ibaratnya mati segan hidup tak mau.
Baca juga : harian-terbit-satu-lagi-koran-nasional-yang-terancam-mati
Dijual Dengan Pesangon Seadanya
Badai yang selama ini hanya berupa isu, akhirnya benar-benar terjadi. Surat kabar Harian Terbit yang beredar pertama kali dengan nama Pos Sore pada tahun 1970-an itu, akhirnya dijual ke pihak lain (perusahan lain) sehingga tidak lagi di bawah naungan manajemen Pos Kota Grup. Itu terjadi pada 10 Januari 2014 di mana para karyawan dan wartawan dinyatakan tidak bekerja lagi.
Sementara di tempat lain, pihak perusahaan yang membeli koran sore ini, langsung mengedarkan koran sore Harian Terbit versi baru dengan awak media yang sengaja direkrut baru. Ada juga mantan wartawan Harian Terbit lama yang diam-diam “melamar” sendiri dan lolos meninggalkan teman-temannya yang masih sibuk menghitung berapa kira-kira pesangon yang bakal mereka terima.
Belakangan baru terungkap. Meski tidak ada pengakuan dan pernyataan resmi dari pihak perusahaan, tapi dikabarkan Harian Terbit laku “terjual” seharga Rp.3,5 Miliar. Pembelinya adalah R. AU, seorang wanita pengusaha, calon legislatif DKI Jakarta (waktu itu masih caleg, sekarang sudah terpilih sebagai anggota dewan), bekerja sama dengan orang tuanya, AU, yang pegawai PNS DKI Jakarta yang menduduki posisi penting di Sudin Dikdas Jakarta Barat.
Dari hasil pembelian koran senilai Rp3,5 miliar itu, kabarnya sekitar Rp 2 miliar dipakai untuk membayar pesangon wartawan dan karyawan. Sisanya untuk membayar utang perusahaan dan utang cetak koran di percetakan.
Sempat terkatung-katung soal pembayaran pesangon wartawan dan karyawan pasca koran Harian Terbit “terbenam” sementara di tempat lain masih beredar dengan wajah baru dan awak baru. Dengan hitung-hitungan “suka-suka” dari perusahaan, pimpinan memutuskan membayar pesangon tanpa menghitung lagi masa kerja, atau jabatan terakhir seseorang karyawan. Melainkan pukul rata. Pesangon Rp10 juta bagi yang masa kerja di atas 10 tahun, sedang tentu saja lebih kecil jatah mereka yang baru bekerja di bawah 10 tahun.
Keputusan pimpinan ini tentu saja mendapat protes keras dari wartawan dan karyawan. Lalu keputusan tersebut direvisi. Tapi tetap tidak manusiawi, terutama mereka yang sudah puluhan tahun bekerja dan tidak pernah mutasi ke media lain dalam satu grup, misalnya “dikaryakan” ke anak perusahaan. Uang pesangon yang diterima hanya “beda tipis” dengan “orang baru” yang juga menerima pesangon. Hal ini karena ada faktor “kemanusiaan” atau kedekatan dan alasan posisi serta jabatan terakhir sebelum koran ini dijual.
Meski sempat “ribut” dan alot, pesangon akhirnya dibayarkan meski tidak lagi mengikuti aturan baku sesuai aturan ketenagakerjaan.
Saya (penulis) yang sudah mengabdi sebagai wartawan selama 34 tahun dan terakhir sebagai redaktur, misalnya — berkarier mulai jenjang koreponden daerah di Makassar — Alhamdulillah menerima pesangon kurang dari Rp 50 juta.
Setelah dipotong segala macam sangkutan utang dari kantor dan koperasi, saya hanya bisa membawa pulang uang pesangon Rp 20 jutaan, bersih. Ya, pesangon untuk 34 tahun sebagai wartawan… **
saya harus belajar banyak dari bang Nur…
Hahahahaha….sama2 belajarlah. Terutama saya harus belajar ke Mas Imam bagaimana menggunakan drone,karena saya tertarik membuat video blog…
Saya mau belajar sama Abang nih bang. Saya baru 3 bulan gabung di koran Pantura. Bagi ilmunya bang
Dulu pernah bercita-cita jadi wartawan. Tapi wartawan olahraga. Ngiri lihat wartawan olahraga yang bisa dekat-dekat dengan pesepakbola dunia macam David Beckham ????#modus.. hahaha
Iya, kenapa gak dilanjutkan cita-citanya mbak Denik?