Pernah dengar orang berhaji ke Mekah dengan naik kapal laut? Mungkin pernah membaca buku sejarah atau mendengar cerita kakek-nenek kita. Bahkan dalam sejarah jaman doeloe ada yang naik haji menggunakan perahu layar. Zaman Rasulullah Muhammad SAW, umat Muslim berhaji menggunakan onta karena alat transportasi jaman itu masih terbatas. Wow…luar biasa ya.
Nah ini pengalaman unik kakek-nenekku almarhum Haji Muhammad Yusuf Puang Sau. Paspor hajinya juga unik. Identitas pemegang paspor masih menggunakan tulisan tangan. Saya kira tidak pernah terbayang di benak kakekku bisa menunaikan ibadah haji di zaman itu.
Entah kenapa, berhaji lewat laut ini dihentikan oleh pemerintah dan diganti dengan moda transportasi udara, atau berhaji lewat udara dengan pesawat terbang. Pernah muncul usul dan gagasan agar berhaji dengan pesawat terbang ini diadakan kembali. Selain biaya bisa ditekan lebih murah, kesempatan berhaji tidak harus menunggu waiting list bertahun-tahun.
Waktu tempuh perjalan dengan kapal laut Indonesia-Jeddah pergi pulang, memang akhirnua lebih lama menjadi 3-4 bulan. Bandingkan jika dengan pesawat yang hanya 1 bulan atau kurang dari 1 bulan bagi ONH Plus.
Ketika kakekku naik haji, Saya masih duduk di bangku SD Mandai kelas 5 di Makassar, Sulawesi Selatan.
Waktu beliau berhaji tahun 1972, jamaah haji Indonesia masih menggunakan transportasi kapal laut milik PT Arafat. Berangkat dari pelabuhan Soekarno-Hatta, Makassar.
Saat itu ada beberapa nama kapal yang sudah akrab kalangan masyarakat di Sulawesi, terutama di kota Makassar. Antara lain, kapal laut Mei Abeto, Lehavre Abeto, Tjut Nyak Dhien, Gunung Jati. Seingatku kakek dan nenek berangkat dengan kapal Tjut Nyak Dhien.
Seperti juga tradisi di daerah lain, di kampung saya juga begitu. Satu orang yang naik haji, satu kampung yang mengantar, hehehe….
Sebelum kapal laut yang mengangkut calon jamaah haji meninggalkan dermaga pelabuhan, semua keluarga pengantar dengan setia memenuhi pinggir dermaga. Mereka mengelu-elukan keluarganya yang siap berhaji dengan kapal laut.
Saat itulah saya termasuk di antara kerumunan para pengantar. Tapi tidak dengan salah satu paman saya. Beliau berhasil naik ke atas kapal laut, ikut melambai-lambaikan tangan seperti layaknya calon haji yang lain.
Waktu paman saya turun dan kapal laut sudah siap berangkat, saya penasaran dan bertanya, kenapa begitu gampang dan bebas turun-naik ke kapal laut? Ia kemudian memperlihatkan sebuah kartu pengenal bertuliskan PERS.
Saya sempat bingung lalu paman menjelaskan bahwa, dia sebagai wartawan diberi prioritas naik kapal untuk meliput. Padahal saya tahu, paman bukan wartawan melainkan hanya agen perwakilan satu surat kabar di kotaku hehehe….
Nah, kalau nanti saya jadi wartawan, berarti bebas juga masuk ke mana-mana kali ya, termaik naik ke kapal laut? Paman saja cuma agen koran bisa hebat begitu, bagaimana kalau memang wartawan beneran ya? Dari sinilah kemudian cita-cita saya gantungkan setinggi langit untuk suatu hari bisa jadi wartawan. Kini cita-cita itu terwujud, saya sudah jadi wartawan hahahaha….
MASUK ASRAMA
Sebelum berangkat, para calhaj (calon haji) harus masuk asrama haji di Jalan Laiya, belakang Pasar Sentral, di pusat kota — sekarang di Asrama Haji Sudiang, pinggir kota dekat bandara Internasional Hasanuddin.
Kakekku, Puang Sau, ketika itu berangkat berempat bersama adik-adik dan ponakannya, yakni kakek-nenek kami yang lain: Abdul Rivai Puang Rala dan isterinya Ny Basse Puang Ci’nong, None Puang Ngai, dan paman saya atau ponakan kakek Muhammad Thahir Puang Tandjeng. Pamanlah sebagai pengawal perjalanan ibadah haji para kakek-nenek ini.
Kami memang tergolong keluarga besar, penganut tradisi kawin antaranggota keluarga. Bapak dan ibu saya berstatus “Accikali – Samposikali” (Bahasa Makassar, sepupuan, sepupu sekali atau saudara misan kata orang Jakarta). Sementara saya dan istri, satu tingkat di bawahnya yakni “Appindu” atau sepupu dua kali. Haddeh…..
HAJI REMPONG
Saya ingat betul waktu kakek berangkat haji, itu karena saya yang menulis atau memberi nama dan identitas pada asesoris haji mereka. Lengkap dengan nama syekh (haji waktu itu masih sistem syekh, tidak seperti sekarang dengan sistem muassasyah).
Saya menulis nama syekh mereka, tentu saja, dalam tulisan huruf Arab menggunakan cat di peralatan dan barang bawaan kakek, seperti peti kayu, piring, dan lain sebagainya. Rempong benar berangkat haji era kapal laut saat itu. Kebetulan saya memang pernah belajar Chot, tulisan indah (kaligrafi) dalam bahasa Arab semasih sekolah di madrasah.
UANG PERMEN
Oh ya, karena menggunakan transportasi kapal laut — yang pelayaran harus ditempuh sampai sebulan ke Jeddah, Saudi Arabia — maka barang bawaan jamaah diberi kelonggaran dalam jumlah besar. Selain membawa koper, juga peti kayu berisi berbagai perbekalan sembako selama perjalanan.
Untuk bantuan penulisan nama dan kaligrafi nama syekh tadi, saya panen karena masing2 kakek-nenek memberi saya “uang permen” sebagai honornya. Nilainya cukup besar ketika itu hahaha….
Pengalaman yang sangat berkesan 44 tahun lalu itu, terkenang selalu setiap kali menjelang bulan haji atau Idul Adha. Apalagi setiap kali menatap paspor peninggalan kakek ini. Paspor dengan tulisan tangan tersebut, ditemukan dan direpro ulang oleh cucunya yang lain, Muhammad Aksar, tak lain masih sepupu saya juga.
Baca juga tulisan terkait:
Catatan Perjalanan Umrah Era Soeharto (1)
Catatan Perjalanan Umrah Era Soeharto (2)
Catatan Perjalanan Umrah Era Soeharto (3)
Catatan Perjalanan Umrah Era Soeharto (4)
Catatan Perjalanan Umrah Era Soeharto (5)
Luar biasa abang yang satu ini, selain menjadi teman, abang juga sebagai guru saya…..Semoga sehat dan sukses selalu
@Iast….terima kasih, amin…ada lagi gurunya Iast yang lebih senior, itu loh yang rambut jabrik, sdh lupa ya? hehehe… saya dan keluarga juga berharap Iast dan keluarga sehat juga adanya…..salam
Paak, pengalaman jaman dlu naik kapal untuk berangkat haji memang cukup berat yaa. Nggak terbayangkan deh aps dulu kakak nenek saya juga demikian. Skarang naik pesawat jadi lebih dimudahkan, semuanya pun ada
Iya, itulah salah satu daya tarik haji laut
Iya keren banget haji jaman dulu, hanya orang yg punya bekal harta, ilmu dan kesungguhan kuat yg berhasil mendapatkan gelar Haji 🙂
Betul, tentu saja selain memang sudah ada panggilan Allah
Banyak cerita menarik berhaji dgn menggunakan kapal laut. Utk yg msh muda dan kaya waktu asyik jg nih pengalaman berhaji spt ini 🙂
Novel Tere Liye yg judulnya Rindu jg bersetting kapal laut menceritakan jamaah haji dr Indonesia …
Terima kasih mbak Ana. Betul, salah satunya ya cerita yang kutip dari kakek-nenek yang naik haji dgn kapal laut…
mungkin biaya kapal laut lebih mahal, tidak efektif waktu..makanya dihentikan…
Mbak Nova Violita, bisa jadi, hehe….terima kasih sudah mampir, terima kasih
kakek-nenek saya bahkan buyut saya juga berhaji dengan kapal laut di tahun 70 an…namun sayang peninggalan kakek nenek sudah tak ada lagi…hanya menjadi cerita lisan saja…..
Iya Mbak Sri. Harusnya pengalaman haji kakek dan nenek buyutnya didokumentasikan, jadi cucu-cucu bisa melihat.
Wah sayang ya, padahal itu sejarah hehehe….terima kasih sudah mampir di sini, salam kenal
tulisan iniiiiii…. saya baca sampe berkali kali, sambil membayangkan keadaan saat itu! How you love the history behind ya,bang!
terus nulis seperti ini dong bang Nur, i loooove this article!
Terima kasih mbak Tanti, masih banyak cerita kakek-nenek semasa berangakat haji dengan kapal laut.Insya Allah saya kumoulin dulu ya ….