Ziarah

Catatan Perjalanan Umrah Era Soeharto (4)

Bersama sahabat Arab dan mukimin Indonesia (foto: dok pribadi)
Bersama sahabat Arab dan mukimin Indonesia (foto: dok pribadi)
Written by nurterbit

*PASPOR HILANG

SELEMBAR kertas putih dari Imigrasi – ukurannya sedikit lebih lebar dari dua halaman paspor – disodorkan petugas Garuda saat chek in di Bandara Internasional Soekarno – Hatta, Cengkareng, Tangerang, Banten. Proses ini dilakukan sebelum mengambil boarding pass dan lebel penimbangan barang untuk ditempatkan di bagasi pesawat.

Tugas pengisian formulir keluar negeri ini (form exit), sebenarnya menjadi tanggungjawawb setiap orang yang akan bepergian ke luar negeri, termasuk mereka yang akan melaksanakan ibadah umrah. Soalnya, yang bersangkutan harus membubuhkan tanda tangannya.

Namun nampaknya, semua urusan sepanjag masih bisa “diatur”, seringkali diambil-alih oleh petugas biro perjalanan untuk memudahkan calon jamaahnya. Karena itu, kolom untuk tanda tangan penumpang (signature of passenger) misalnya, ditandatangani sendiri oelh petgas biro umrah mewakili jamaahnya. Sret…sret…sret…

Bagi yang berangkat secara perorangan, tentu tak sulit. Tinggal mengisi lalu mengembalikan lagi ke petugas. Itu pun jika sedikit banyaknya mengerti tulisan dan maksud pertanyaan yang semuanya berbahasa Inggeris itu.

Keluguan TKW

Di atas pesawat, baik saat penerbangan ke Jeddah maupun pemulangan ke tanah air, lagi-lagi disodori selembar kartas yang kembali harus diisi. Namanya coustms declaration, atau pemberitahuan pabean, dan entri form yang dikeluarkan Dirjen Bea dan Cukai.

Formulir tersebut dibagikan kepada penumpang sesaat pesawat meninggalkan landasan pacu. Saat pembagian formulit itulah, terjadi suasana gaduh. Saya segera menolehke arah suara tadi, barangkali dari rombongan kami yang umumnya wanita itu. Ternyata bukan.

Saya akhirnya harus plingak-pinguk ke depan, samping dan belakang. Dan, oowww… ini dia rupanya. Justeru sumbernya dari deretan kursi pesawat yang diduduki sejumlah wanita berjilbab dengan warna seragam dan baju sangat “santai” bagi kaum lelakinya. Itulah TKW (Tenaga Kerja Wanita) dan TKL (Tenaga Kerja Laki-laki) kita yang akan mengadu nasib di negeri Arab.

Kegaduhan rombongan “pemburu” dolar yang kemudian nanti ditukar ke Real – mata uang Arab – inilah memang mendominasi suasana kegaduhan tadi di atas pesawat. Potret keluguhan wanita dan lelaki desa.

Misalnya saa t dibagikan earphone – alat bantu telinga untuk mendengar musik atau suara pemeran film melalui layar khusus – yang dihubungkan di masing-masing kursi. Juga, ketika memasang dan mengatur safety belt – ikat pinggang yang melingkari perut ke sandaran kursi. Suara gaduh kembali terdengar karena mereka sering tidak mengunci kamar kecil (toilet) waktu buang hajat.

Saat pengisian entri form tadi, juga tak kalah serunya. Satu TKW bertanya ke TKW lain, atau dari TKW ke TKL. Begitu bolak-balik hingga memenuhi gang pesawat karena lalulalang, simpang siur. Sampai pada kolom umur, mereka nampak kebingungan.

Sing asli opo sing nang paspor?”, katanya dalam logat Jawa yang kental.

Maksudnya, umur yang sebenarnya ataukah yang tercantum dalam paspor. Lah, memang dua kali dilahirkan? Dari TKW sendiri saya akhirnya mendapat info. Rupanya, mereka yang masih muda belia terpaksa ada yang memalsukan umur agar bisa lolos ke Arab. Waduh…

Dari “palsu-memalsu” ini, saya teringat Zarima “Si Ratu Ecstasi” dan Eddy Tanzil “Si Boss Golden Key”. Setelah Zarima “mengecoh” pertahanan polisi dan Eddy Tanzil “membobol” Bank Bapindo (lalu LP Cipinang), keduanya lalu ngacir keluar negeri. Entah dengan paspor apa, atau dokumen perjalanan apa yang mereka gunakan. Yang pasti, hanya Zarima yang ”pulang”, sedang Eddy Tanzil masih senang melanglang-buana, entah di planet mana. (bersambung)

Leave a Comment