TERBIT pertama kali Juli 1972 dengan nama POS SORE. Koran sore yang didirikan oleh H. Harmoko — mantan Menteri Penerangan, mantan Ketua DPR, mantan Ketua Umum Golkar ini — masih satu grup dengan POS KOTA, koran kriminal pertama yang terbit di era rezim Soeharto.
Setelah sempat dibredel bersama sejumlah koran nasional lainnya di zaman Orde Baru, harian POS SORE kemudian berganti nama menjadi HARIAN TERBIT. Selama beredar sudah 4 kali berganti pemimpin redaksi. Dimulai dari Abiyasa, HRS Hadikamdjaya, Bagus Sudharmanto dan terakhir Tarman Azzam.
Selama beredar mengunjungi pembacanya, koran harian POS SORE pernah mencatat tiras terbanyak yang dicetak lebih dari 150.000 per hari. Itu terjadi saat secara rutin menurunkan berita tentang pungli, korupsi dan penyelundupan di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Setelah berganti nama menjadi HARIAN TERBIT, kembali koran sore ini mengulang sukses dengan oplag sekitar 500.000 eksamplar saat menurunkan liputan secara kontinyu peristiwa perang Teluk, ketika Amerika menggempur Irak. Secara khusus redaksi mengirim reporternya ke medan perang.
Untuk berita lingkup daerah, kembali koran ini mengukir sejarah. Saat saya mulai ikut bergabung sebagai koresponden HARIAN TERBIT untuk wilayah Indonesia Timur berkedudukan di Kota Makassar (1980-1984), berbagai berita lokal yang kemudian terangkat jadi kasus nasional, berhasil dimuat sebagai headline.
Antara lain kasus pembunuhan Bupati Bone PB Harahap yang tewas di tangan tukang kebunnya sendiri, kasus wanita hamil tanpa kepala, korupsi APBD Pemda Makassar, korupsi penghijaun dan sekolah inpres, termasuk perselingkuhan Bupati Selayar.
Dari sejumlah kasus tersebut, koran HARIAN TERBIT laku bagai kacang goreng, laris-manis karena foto copy beritanya juga diburu pembaca.Dalam perjalanan selanjutnya, HARIAN TERBIT kemudian mengalami pasang surut. Itu saya ketahui karena sejak 1984, saya hijerah ke Jakarta dan ikut bergabung di redaksi Kawasan Industri Pulogadung, Jakarta Timur.
Berbagai isu bangkrut, mau dijual, mau dilego, mau ditutup karena kesulitan ekonomi, mewarnai perjalanan koran sore ini dan bahkan sudah menjadi menu setiap waktu bagi wartawan dan karyawannya. Isu “mau dijual” itu pun akhirnya terbukti. Sekitar akhir Desember 2013 lalu, seluruh wartawan dan karyawan dikumpulkan. Singkat cerita, terhitung mulai Senin, 20 Januari 2014, edisi perdana versi menejemen baru mulai beredar di pasaran.
Sementara di kantor percetakan PT Metro Pos, kawasan industri Pulogadung Jakarta Timur yang sekaligus merangkap sebagai kantor redaksi Harian Terbit, suasana “berduka” meliputi hati para karyawan dan wartawan karena pembayaran pesangon belum jelas jumlah uang dan kapan pencairannya. Sementara koran versi menejemen baru sudah beredar, koran versi lama sudah tidak dicetak lagi.
Seperti diketahui, Harian Terbit dicetak untuk terakhir kali, Jumat 17 Januari 2014 dengan berita Head Line (HL) soal Ani Yudhoyono. Bahkan edisi Sabtu 18 Januari 2014 dengan HL soal Gubernur Banten Rano Karno, tidak sempat lagi naik cetak. Isu yang berkembang, Harian Terbit gagal beredar karena mesin cetak terendam air. Operator percetakan juga bolos karena rumah mereka ikut terendam. Tapi bagi karyawan dan wartawan, ini sudah cukup merupakan tanda-tanda “hari kiamat”.
Hari Jumat 24 Januari 2014 saat tulisan ini saya ketik, adalah hari keenam saya tidak masuk kantor menikmati masa “pengangguran” saya sebagai wartawan Harian Terbit. Pengangguran dalam tanda kutip, tapi tidak sebagai penulis. Saya tetap menulis apa saja melalui laptop butut — termasuk menekuni kembali website pribadi www.nurterbit.com yang selama ini tidak terurus — sambil menunggu kapan pesangon saya dibayarkan.
Bertebaran informasi pun di luar yang beredar simpang-siur, tanpa bisa terkendalikan. Semoga sedikit catatan kecil ini tidak ikut menambah “kesimpang-siuran” berita tersebut. Bekasi, Jumat 24 Januari 2014, pukul 09.00 Wib.
Salam,
Nur TERBIT
Bahan2 : Sebagian besar file pribadi dan keterangan tambahan dari bang Abdullah Lahay
Foto2 : Bambang Tri Prasetyo
Di bawah ini adalah edisi terakhir Harian Terbit yang tidak sempat dicetak lagi. Seharusnya beredar Sabtu 18 Januari 2014 (foto sumbangan dari Toto Rohadi, bagian layout PT Metro pos untuk edisi Harian Terbit)