Penyelenggaraan pesta bagi orang film, kembali kisruh. Pada Festival Film Indonesia (FFI) tahun 2017 ini lagi-lagi menuai kritik. Pesta yang seharusnya menjadi perayaan dan penghargaan yang dapat memberi semangat dan nafas bagi perfilman Indonesia, malah berbuntut kekecewaan.
Menurut Ilham Bintang, pemilik infotainmen “Cek & Ricek” ini, kisruh FFI sendiri, sebenarnya sudah dimulai sejak pertama kali FFI didirikan tahun 1955. Wartawan senior kelahiran Makassar ini, bahkan pernah menulis dan merangkum kekisruhan FFI tersebut dari tahun ke tahun.
Baca Juga : ADA APA DENGAN FFI
Adapun Piala Citra menjadi simbol penghargaan di FFI untuk film-film Indonesia sebagaimana yang diperjuangkan Usmar Ismail sebagai Bapak Perfilman Indonesia.
“Tidak lucu kalau Piala Citra dibagi-bagi untuk arah dan tujuan yang berbeda. Nama Citra itu sendiri berasal dari syair karya Usmar Ismail, yang kemudian menjadi lagu, lantas difilmkan dua kali oleh Usmar Ismail,” kata Sonny Pudjisasono, dari Pusat Perfilman H Usmar Ismail.
Nah, benar kan? Artinya, ajang pesta artis dan pegiat film di setiap kali FFI digelar, tidak pernah jauh dari kekisruhan. Hal ini tentu membuat para sineas kecewa dan mempermalukan dunia perfilman Indonesia. Tentunya harapan kita perfilman Indonesia dan penyelenggaraan FFI bisa selaras dan saling mendukung untuk menciptakan industri perfilman yang jauh lebih baik.
Kamis (09/11/2017) misalnya, dalam acara pertemuan yang dihadiri unsur-unsur pelaku perfilman di Gedung Film Jakarta, Forum Peranserta Masyarakat Perfilman (FPMP) menyampaikan pernyataan sikap. Mereka mengkritisi penyelenggaraan perfilman saat ini.
Salah satu butir isi pernyataan sikap FPMP adalah menyesalkan cara-cara pelaksanaan Festival Film Indonesia (FFI) 2017. Mereka menilai FFI tahun ini sudah diwarnai dengan pelanggaran peraturan dan perundang-undangan.
Berikut beberapa point penting dalam pertemuan FPMP :
- Tidak mempercayai hasil-hasil FFI 2017 sebagai kelanjutan dari sejarah diselenggarakannya FFI sejak 1955.
- Mendukung dilakukannya audit khusus pada dana APBN dan APBD yang dialokasikan untuk penyelenggaraan FFI maupun untuk Badan Perfilman Indonesia (BPI).
- Masyarakat Perfilman mendesak Pengurus BPI untuk patuh pada Undang-undang Perfilman yang menjadi dasar pembentukannya.
- Menjalankan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga sesuai Kongres BPI.
- Menjalankan amanat Kongres, serta bertindak terbuka, adil, dan demokratis,
bagi seluruh unsur stakeholders BPI. - Menyesalkan sikap pemerintah yang terus-menerus tidak menepati janji untuk melaksanakan amanat Undang-Undang Perfilman berupa penerbitan Rencana Induk Perfilman Nasional (RIPN) serta Peraturan Pemerintah atau Keputusan Menteri yang memberi perlindungan dalam tata edar Film Indonesia.
- Tetap komitmen terhadap Pernyataan Sikap yang disampaikan pada 30 November 2016 (tahun lalu), yaitu memperjuangkan hak peranserta masyarakat dalam perfilman, melindungi Film Indonesia dari konspirasi,
pertahankan peruntukan fasilitas perfilman, awasi dana APBN untuk penyelenggaraan perfilman, serta laksanakan amanat Undang-undang Perfilman. - FPMP juga berharap bisa berkomunikasi dengan menteri yang membawahi perfilman serta dengan Komisi 10 DPR-RI.
- Peserta pertemuan sepakat merencanakan diselenggarakannya Kongres Peranserta Masyarakat Perfilman Pribumi, sebagai langkah memperjuangkan Film Indonesia menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
Komentar Unsur Pelaku Perfilman
Sementara dari kalangan kritikus film, juga tidak kalah sengit komentar dan pernyataan mereka tentang pelaksanaan FFI 2017 ini. Seperti dikutip dalam pertemuan tersebut, antara lain :
- Kritikus film Wina Armada, misalnya, menyatakan mendukung terhadap Petisi Wartawan Film yang juga tidak mempercayai FFI 2017.
- Sonny Pudjisasono dari Pusat Perfilman H Usmar Ismail: Semangat dari sikap ini adalah dalam kerangka menjaga marwah Piala Citra sebagai simbol penghargaan tertinggi bagi prestasi artistik film Indonesia.
- Produser Nicky Rewa dari Makassar, Sulawesi Selatan menuding masalah tata edar film selama ini merugikan. Sebagai pembuat film merasa benar-benar menjadi anak tiri di negeri sendiri.
- Produser film J Yansen Senjaya juga mengeluhkan karena filmnya yang terbaru hanya mendapatkan jatah sepuluh layar saat beredar. “Makin kesini situasinya makin menuju penindasan terhadap Film Indonesia.”
- Kusumo Priyono dari organisasi Gasa Indonesia: Pernyataan sikap FPMP akan ditindaklanjuti dengan langkah konstruktif dalam kerangka ikut berpartisipasi dalam membangun perfilman Indonesia. Kata Kusumo Priyono, “kami memakai istilah pribumi, karena kenyataannya Film Indonesia masih dijajah oleh film asing.
- Rully Sofyan dari Asosiasi Rekaman Film dan Video (Asirevi): Pada prinsipnya BPI dibentuk dan hadir adalah untuk menjalankan amanat dari stakeholders perfilman. “Kami melihat, hampir setahun bekerja, yang dilakukan BPI tidak amanah,” kata Rully Sofyan.
- Wartawan Senior dan Sutradara, Akhlis Suryapati : Semua ini adalah wujud peranserta masyarakat dalam penyelenggaraan perfilman yang dijamin oleh undang-undang.
Akhlis sendiri, ternyata, yang mengatur jalannya bincang- bincang dalam pertemuan FPMP tersebut. “Tentu saja ini sikap kepedulian yang baik bagi penyelenggaraan perfilman. Karena ada kutipan dialog dalam sebuah film; “kalau orang baik diam, kejahatan merajalela.”
Iya deh Mas Akhlis. Sukses ya bro !! (Nur Terbit)