Menteri Perhubungan datang ke Pelabuhan Tanjung Priok dan marah besar. Ia minta ke Dirut Pelindo II agar Kepala Humas dipecat. Ada apa rupanya? Inilah pengalaman saya sebagai wartawan pelabuhan.
Apakah benar Kepala Humas dipecat? Tidak. Yang terjadi, cuma “diumpetin” di Terminal Peti Kemas (JITC), divisi usaha Pelindo yang lain di Tanjung Priok. Belakangan malah diangkat jadi Dirut Pelindo. Bagaimana itu bisa terjadi? Ini pengalaman saya sebagai wartawan pelabuhan.
* Menteri Marah, Humas Dicopot
Seorang teman wartawan menulis status di wall Facebook-nya, terkait soal kegundahannya akan ribetnya “Dwelling Time” (DT) — kasus lambatnya pelayanan di pelabuhan Tanjung Priok Jakarta yang pernah disorot Presiden Jokowi karena menimbulkan biaya tinggi.
“Saya jadi bingung pengertian “Dwelling Time” jadi gak jelas ada yang menafsirkan lamanya bongkar muat barang. Sementara dulu Dwelling Time bermakna lamanya barang menginap di pelabuhan. Jadi yang mana yang benar jadi gak jelas nih?,” tulis Wilam Chon, teman saya itu.
“Dwelling time adalah ukuran waktu yang dibutuhkan dalam proses di pelabuhan. Masing-masing proses mengandung unsur dweling time,” seorang Kumaidi, teman FB lainnya menimpali.
Ngomongin “Dweling Time” ini, saya langsung ingat pengalaman saya sewaktu jadi wartawan meliput kegiatan di Pelabuhan Tanjung Priok, era 1990-an.
Dulu, zaman Menteri Perhubungan (Menhub) Harianto Dhanutirto, era Soeharto, memang gak populer istilah “dweling time”. Yang sering diperbincangkan, malah populer istilah “waiting time”, yakni waktu tunggu kapal untuk sandar di dermaga.
Menhub “Van Danoe” ini, sejak jadi menteri, hampir setiap hari “berkantor” di pelabuhan. Hasilnya, dia sudah laporkan secara resmi ke Soeharto. Katanya, di Priok itu sudah “zero waiting time”.
Artinya, ketika ada satu kapal masuk kolam pelabuhan, langsung bisa bongkar di dermaga.
Esoknya, temuan Menhub ini — bahwa kapal sudah bisa langsung sandar dan melakukan bongkar-muat — lalu dimuat harian Kompas. Beritanya pun HL alias Head Line, berita utama atau kepala berita.
Sebagai wartawan koran sore di Harian Terbit (Pos Kota Grup) dan masih tergolong “anak bawang” — istilah orang pelabuhan “timun bongkok” — lalu saya berusaha wawancara khusus dengan Kepala Humas (Kahumas) Pelindo II, Harry Susanto (HS).
Maksudnya, biar ada “follow up” dan pengembangan berita dari koran Kompas. Tapi soal temuan Menhub mengenai “zero waiting time” tadi, dibantah Kahumas. Dia bilang itu “faktor kebetulan”, dan saya lalu kutip pernyataannya di Harian Terbit, tempat saya bekerja ketika itu.
Artinya, tanpa kerja keras Menhub pun — sampai segitunya bela-belain nginap di pelabuhan segala tadi, sebenarnya “gak ngaruh”. Namanya juga faktor kebetulan.
Besoknya, Menhub datang ke Priok dan marah besar. Ia minta ke Dirut Pelindo II agar Kahumas dipecat. Beberapa minggu posisi Kahumas dibiarkan kosong, sampai kemudian diisi oleh Henry. S (HS) pegawai staf di Departemen Perhubungan, sekarang Kementerian Perhubungan.
Penjelasan khusus soal pergantian Kahumas ini, belakangan “diluruskan” oleh Henry Bahri, nama lain Henry di Facebook (baca sub judul di bagian bawah tulisan ini, KOMENTAR PARA SAKSI MATA)
Kembali ke cerita kemarahan Menhub Harianto Dhanutirto di atas. Yang terjadi, Direksi Pelindo II ternyata tidak segera memecat HS, tetapi mantan Kahumas tersebut cuma “diumpetin” di Terminal Peti Kemas (JITC), divisi usaha Pelindo yang lain di Tanjung Priok.
Eh, belakangan setelah ganti Menhub, pak HS malah naik pangkat. Dari JITC diangkat jadi Dirut Pelindo I Medan, lalu pindah jadi Dirut di Pelindo IV Makassar, di mana kemudian ia pensiun.
Sayang pak HS tidak pernah ketemu lagi dengan saya, setelah “kasus Priok” itu. Bahkan mungkin sudah lupa — kalau suka atau tidak suka, secara langsung atau tidak langsung — gara2 sayalah dia jadi dirut hahahaha….
Nah, itulah tulisan pengalaman saya sewaktu jadi wartawan yang meliput kegiatan di pelabuhan. Tulisan tersebut kemudian saya unggah ke wall facebook saya. Banyak komentar dan like yang membanjiri, terutama pegawai pelabuhan dan teman-teman wartawan yang ikut sebagai saksi mata di peristiwa tersebut. Berikut komentar mereka dan jawaban saya yang saya kutip sesuai aslinya.
KOMENTAR PARA SAKSI MATA
Aidikar M. Saidi : Hehehe Daeng Nur ingat..
Nur Terbit : Hehehe….Iya Bang Aidikar saya terinspirasi dari status FB bang Wilam Chon. Episode berikutnya cerita tentang Pelra (Pelayaran Rakyat, pen) Sunda Kelapa dgn Pak Ike Faturrahman, kemudian Syahbandar Priok dgn Pak Paulus Sadi l hehehe….
Aidikar M. Saidi : Masih ingat ga Soeharto perintahkan Menhub dan Menteri Muda Keuangan berkantor di Priok? Tapi tetap saja mafia di Priok tidak bisa diberantas dan stagnasi dan ekonomi berbiaya tinggi tetap tak bisa dibendung.
Nur Terbit : Itu masa2 jayanya Cendana….hehehe
Aidikar M. Saidi : Itu bukan zaman Harto lagi Lim..tp dah presiden Gusdur
Jaya Kamarullah : Benar, itu zaman orba alias masih rezim Soeharto. Gus Dur era reformasi.
Nur Terbit : Masih Soeharto koq, ada beritanya di Kompas dan Terbit, Dirut Pelindo II kalau gak salah Abdullah Saefuddin…Iya, betul era Orba
Aidikar M. Saidi : Iya…tp pak Hari (HS) jadi Dirut setelah presiden Gusdur.
Yusman Mahyudin : Dirutnya Dah pak Harbani..setelah reformasi…maka waktu itu menguat istilah KKN
Nur Terbit : Betul uda’ yang saya cerita di atas waktu pak Hary msh Humas Pelindo II dan dimutasi ke JITC. Setelah Soeharto tumbang berganti rezim Gus Dur dan Menhub diganti, Pak Hary baru diangkat jadi Dirut Pelindo I dan kemudian dimutasi jadi Dirut Pelindo IV.
Aidikar M. Saidi : Ingat ga waktu itu Soeharto perintahkan Menhub dan Menteri Muda Keuangan berkantor di Priok untuk mencegah kongesti.
Nur Terbit : Ingat bang Aidikar M. Saidi, ingat, bahkan wartawan ikut2an begadang. Bukan mau nemani Menhub dan Menmud Keuangan, tapi temani Amin Lihu Kep TPK Koja dan Abang Abing main gaple hehehe….
Olivia Manjorang : Ha..ha..haa bernostalgia ya? Bro caro kedai kopi gitu biar lebih asiik ada ngopi-ngopi nya
Nur Terbit : Di mana? kalau di Bekasi kejauhan teman2 prioknya hehehe
Henry Bahri : Iya tapi gue yang jadi korban
Nur Terbit : Lah Pak Henry Bahri, korban apa justeru bapak naik pangkat jadi Humas menggantikan pak HS? hehehe….itu juga ada andil saya loh lewat berita
Henry Bahri : Apaan dari awal saya sudah tau bakal jadi korban, saat saya pindah saya dalam proses promosi di Dephub. Saya menolak pindah lalu dipanggil menteri, saya kemukakan alasan saya enggan lalu menterinya bilang di sana kamu mau jadi apa saya yang tentukan.
Saya gak bisa berdalih lagi terpaksa terima kepindahan. Dan apa yang saya bayangkan menjadi kenyataan, ketika saya mau promosi dihalang-halangi oleh orang yang gak perlu saya sebut dengan alasan saya belum mono status. Padahal berapa banyak yang lain belum mono status malah bisa jadi direksi. Saya terjebak dalam 2 skenario besar yang gak bisa saya cerita di sini. Kapan-kapan kita ketemu saya ceritakan semuanya
Nur Terbit : Ya, perlu disyukuri pak Henry Bahri, mungkin begitulah jalan yang terbaik. Masih untung dipanggil menteri, kalau dipanggil kejaksaan — karena waktu itu belum ada KPK — gimana? hahaha….guyon bos…
Henry Bahri : Saya sering dipanggil jaksa tapi saya menolak dengan keras. Tapi kalau dipanggil Henry saya mesti datang, karena nama saya bukan jaksa
Nur Terbit : Hahahaha…….betul, betul…kapan-kapan perlu ngopi bareng nih bos. Oh iya, rumah pak Henry di Rawamangun jauh gak dari Jl Mas Koki, tukang urut patah tulang, samping mesjid?
Henry Bahri : Jalan ikan mas koki di belakang terminal, kalau saya dekat Tip Top atau di belakang apotik Rini tepatnya.
Ridwan Said : Masih ingat aja om nur alim,,,aku salah satu saksi Pak Hari Sutanto disingkirkan Van Danoe,, padahal waktu itu hari hanya bercanda soal zero waiting time…tapi ya sudahlah
Santai di tangga kapal KM Tidar menuju anjungan usai sholat jamaah dalam pelayaran dari Tanjung Priok Jakarta ke Pelabuhan Soekarno Hatta Makassar (foto dok pribadi/Nur Terbit)
Wah dampaknya sampai segitu ya. Salut Pak Nur
Seperti kata orang bijak, pena wartawan (sekarang mungkin tulisan di medsos) lebih tajam dari pisau silet hehehe…
Wah pengalaman yg berkesan. Waktu nginep kapal, jadi tau
Iya begitulah istilah ekonomi terutama di dunia maritim. Terima kasih Mas Andri sudah mampir di sini
tajamnya pena, ditakuiti oleh Napooleon. Pengalaman keren om Nur.
Terima kasih mbak Windu. Pena wartawan memang “memang berbisa hehehe….”
Aish seru ya bang. Pasti masih banyak nih yang seru2 lainnya hahaha
Hahaha…terima kasih mbak Gita Siwi, banyak kalau mau ditulis karena masih berserakan di kepala
Nunggu cerita seru lainnya. ^^
Hahaha…terima kasih mbak Reh Atemalem, belum sempat aja nulisnya, dan ingatan harus disegarkan kembali
“Henry Bahri : Saya sering dipanggil jaksa tapi saya menolak dengan keras. Tapi kalau dipanggil Henry saya mesti datang, karena nama saya bukan jaksa”
hahahahaha
narsum yg punya selera humor okeh.
Pasti banyak pengalaman berkesan sleama jadi jurnalist. Profesi yang luar biasa emang.
Ditunggu tulisan-tulisan lainnya Pak.
Terima kasih, nanti saya kumpulkan semua cerita pengalaman yang tertinggal di ingatan hehehe…..
sekarang waktu nginep kapal pun jadi lama 😀
Itulah yang terjadi selama ini di Pelabuhan Tanjung Priok Bung Honey Josep
Wah keren nih om nur. Ak hrs bnyk belajar dr om.
Terima kasih mbak Wian….dengan senang hati kalau mau saling berbagi hehe… terima kasih sudah mampir di sini