“Abang yang nyetir duluan deh, menghargai yang lebih tuaan hehe..,” kata Dzul sambil menyodorkan kunci kontak mobil Datsun Go Panca.
Saya menolak dengan halus.
“Waduh, tua atau muda sama aja. Anda duluan aja deh, biar saya belakangan,” balas saya.
Rupanya begitu gagal menawarkan kepada saya untuk menyetir, Dzul lalu beralih ke Pak Dizzman.
“Kalau begitu, bapak aja yang pertama, ayo dong pak pegang setirnya,” kata Dzul lagi.
Untuk sementara Pak Dizzman mengalah. Setir dipegang Pak Dizzman, lalu saya duduk di sampingnya sementaara Dzul memilih duduk di jok belakang berdua wartawan Kompas. Dzul kemudian mengambil-alih setir saat pulang dari Sentul menuju TMII.
Selanjutnya giliran saya yang menyetir hingga garis finish di halaman kantor Kompas, Palmerah Jakarta. Begitulah. Dalam urusan menyetir, Dzul – panggilan akrab Al Dzulfikar — terlihat segan dan masih memikirkan masalah umur.
Tapi dari dialog pembuka di atas, terlihat bahwa kelompok kami — Tim I sedan Datsun Go dengan nomor bodi 7 – maunya berbagi tugas sebagai tim yang kompak, solid dan bekerja sama. Cieh… Itulah yang terjadi pada Minggu (21/12-2014) lalu.
Saya berkesempatan mengikuti tantangan hemat yang digelar Kompas Otomotif bersama para Kompasianer dalam ajang Kompasiana Drive & Ride. Pabrikan Datsun menyiapkan tujuh unit mobil Datsun varian GO Panca dan GO+ Panca untuk dijajal di jalanan Jakarta.
Mobil berkategori MPV dan Hatchback di kelas LCGC alias Low Cost Green Car ini menempuh jarak 120,8 kilometer dengan rute Bentara Budaya daerah Palmerah Jakarta menuju Sentul, Sentul ke Hotel Santika TMII dan terakhir kembali ke Bentara Budaya Jakarta.
Dua rute pertama melalui tol sedangkan rute terakhir lewat jalan non-tol.
Dalam proses undian di halaman kantor redaksi Kompas di Palmerah, saya masuk di Tim 1 bersama 3 orang Kompasianer masing-masing Dzulfikar, Pak Dizzman dan saya sendiri. Kami bertiga kebagian mobil Datsun warna hijau langit metallic jenis GO Panca dengan stiker di kaca jendela bernomor 7.
Di Tim 1 ini pula dikawal Azwar Ferdian, seorang wartawan otomotif dari Kompas.com. Jadi praktis ada 4 orang dalam satu mobil. Begitu juga di mobil tim lain, masing-masing ada 3 Kompasianer berikut satu orang wartawan Kompas.com.
Mulai Menyetir
Sebelum berangkat, Kang Arul atau nama lengkapnya Rulli Nasrullah, sempat merasa tidak yakin bahwa mobil yang diluncurkan awal tahun ini akan bisa menghemat bahan bakar. Karena secara logika, katanya, semakin berat beban mobil semakin berat pula daya atau tenaga yang dibutuhkan untuk melaju dan tentu saja semakin banyak pula bahan bakar yang dibutuhkan.
Asal tahu saja, di mobil yang ditumpangi Kang Arul, termasuk badan kelas berat. Berbeda denga tim saya, kecuali pak Dizzman dan Bung Azwar, saya dan Dzul termasuk ukuran mini. Kalau ukuran kulkas, ya masih satu pintulah hehe…
****
Meninggalkan halaman kantor redaksi Kompas, mobil rombongan peserta test drive ini dilepas oleh Iskandar Zulkarnaen, salah seorang admin dari Kompasiana. Waktu baru menunjukkan pukul 08.15 pagi, dimana peserta sudah kumpul sejak pukul 07.00. Asal tahu saja, saya sudah harus meninggalkan rumah dari Bekasi sejak selesai sholat Subuh menuju Palmerah Jakarta, tempat 21 orang Kompasianer yang terpilih ikut test drive ini berkumpul.
Takut ketinggalan rombongan, saya memutuskan memilih kendaraan umum yang secara estafet sambung-menyambung dari satu halte halte berikut. Dari Bekasi naik bus APTB yang rutenya terpadu dengan Busway Transjakarta menuju Slipi.
Di persimpangan Slipi – Petamburan – Palmerah, saya berganti Mikrolet ke kantor redaksi Kompas.
Eh di atas angkot ini, secara kebetulan bertemu Kompasianer lain: Ibu Rokhmah, penulis produktif yang satu rute perjalanan. Belakangan saya ketahui, Ibu Rokhmah juga terpilih sebagai salah seorang dari 21 Kompasianer untuk ikut test drive.
Bedanya, Ibu Rokhmah hanya sebagai penumpang, bukan driver alias pemegang setir. Baru 500 meter keluar dari gerbang Kompas, saya sempat dibuat sport jantung oleh pengendara mobil lain yang memaksa mencoba menyalip dari samping kanan. Pak Dizzman di belakang setir sempat gelagapan dan mencoba menstabilkan gas dan laju kendaraannya. Kejadian serupa terjadi menjelang masuk gerbang dalam kota depan gedung DPR-MPR Senayan.
Sedang putih yang dikendarai seorang wanita belia, tiba-tiba mengambil arah ke kiri dan urung masuk pintu tol. Di saat yang sama, sedan Datsun yang dikemudikan Pak Dizzam melaju ke arah loket pembayaran karcis tol. Wow nyaris saja terjadi tabrakan.
Menyelusuri Rute Macet
Lepas dari jalan tol dalam kota, saya baru bisa menarik napas lega meski kondisi jalan yang kami lewati cukup lengang di hari Minggu itu. Kendaraan mulai padat kembali, saat memasuki jalan Tol Jagorawi menuju Sentul. Dari jok belakang, Dzul sempat mengingatkan agar Pak Dizzam tidak perlu memacu Si Datsun ini agar bisa mengatur kestabilan laju kendaraan.
Sementara bung Azwar, panitia yang duduk di belakang samping Dzul, mendapat kabar kalau ada satu tim yang “nyasar” dan “bablas” masuk jalan tol Jakarta –Cikampek. Tim siapa tuh ya? Hehe…
Di rute atau check point pertama, panel Drive Computer di Datsun GO+ berhasil membukukan 21,6 km per liter komsumsi bahan bakar di bawah kendali setir yang dipegang Pak Dizzam. Angka ini bergeser saat pulangnya di angka 22,2 km per liter ketika setir diambil alih Dzul, dari Sentul ke arah TMII.
Di pemberhentian etape kedua ini, kami semua beristirahat di Hotel Santika, yang lokasinya tak jauh dari pintu gerbang utama TMII. Hotel ini memang masih bagian dari rute perjalanan yang sudah diagendakan.
Selesai menyetir, istirahat, makan lalu perjalanan dilanjutkan. Dari TMII menuju Palmerah Jakarta, barulah giliran saya menyetir.
Alhamdulillah berhasil mencatat angka 18,6 km per liter konsumsi bahan bakar. Kenapa beda dengan yang lain dan cenderung lebih boros? Ya itu karena rute yang saya lalui berbeda dengan dua driver di tim saya sebelumnya melalui jalur tol. Saya kebagian jatah menyetir Datsun Go Panca dari TMII menuju Palmerah Jakarta.
Jalur ini tentu saja non-tol, yang banyak lampu merah dan tantangannya cukup berat, banyak macetnya. Tidak heran ketika memasuki gerbang kantor redaksi Kompas, lumayan terasa pegalnya kedua kaki saya menginjak pedal gas dan kopling hehehe….
“Pegel juga kaki saya melewati rute jalan biasa,” kata saya, ketika ditanya kesan-kesannya dari setiap tim oleh panitia.
Mewakili Tim 1, saya juga menyampaikan bahwa Datsun Go Panca ini cukup irit, mudah dikendarai, kecuali proses pergantian gigi porsenelan yang masih agak berat.
“Mungkin karena mobil baru kali ya?”
Saya juga sempat repot duduk di di samping yang menyetir karena tidak ada tempat pegangan, ya seperti layaknya mobil lain.
“Maklum, Bang Nur sudah biasa naik angkot hahaha…,” goda Babeh Helmi, Kompasianer dari tim lain.
*****
Menghemat Bahan Bakar
Azwar Ferdian, wartawan otomotif Kompas yang juga panitia dan ikut di mobil tim kami, banyak memberikan info seputar Datsun Go Panca ini. Di antaranya soal pedal akselerator berkontrol elektronik dan Speed Sensitive Electric Power Steering.
Kedua fasilitas ini menujukkan bahwa teknologi yang ditanam di Datsun, terutama varian GO+, sangat cocok menjawab borosnya konsumsi bahan bakar. Tapi, ini yang penting dan rasanya perlu diingat, bahwa perilaku serta pengetahuan pengendara juga akan memengaruhi bagaimana konsumsi bahan bakar hemat itu sendiri.
“Misalnya nih ya kalo pun pakai Datsun GO+ yang menurut pengalaman uji mengendarai itu hemat, tapi kalo pedal gas di tekan mendadak sehingga semprotan bahan bakar terus-menerus. Akselerasi perpindahan transmisi pun tidak sesuai dengan kecepatan kendaraan, maka jangan berharap kendaraan bisa hemat,” kata Azwar.
Ungkapan ini pula ditulisnya di Kompas.com, saat menginformasikan seputar Datsun yang akan diujicoba itu.
“Juga, penggunaan bahan bakar menentukan bagaimana performa mesin mobil itu sendiri. Tentu beda mobil yang menggunakan premium dengan pertamax-nya Pertamina. Tentu memiliki perbandingan hemat yang beda antara komsumsi bahan bakar Super dengan V-Power milik Shell,” tambahnya.
Pasti masih banyak daftar yang bisa dilakukan untuk menghemat konsumsi bahan bakar. Namun, tentu saja pilihan mobil yang tepat menempati urutan pertama yang harus dipertimbangkan. Bukan berarti Datsun GO+ Panca ini tidak memiliki kelemahan dan kekurangan. Tapi, c’mon guys, dengan harga yang segitu murah mobil ini mampu menawarkan teknologi canggih dan permorma mumpuni tentu menjadi kekuatan menerobos macetnya Jakarta.
Nge-GO Hemat di Jalanan Jakarta? Ya, gak ada salahnya Anda memasukkan Datsun GO+ dalam daftar mobil yang diinginkan.
Salam
Nur Terbit
* Tulisan ini awalnya dimuat sebagai pengalaman “Menyetir di Jalur Macet Jakarta” di Kompasiana, 29 Desember 2014 dan Dibaca: 182, Komentar: 3 Nilai: 4.
Pengalaman test drive yang menarik., pak Nur !
Iya mbak Windhu….sensasi nyetir di daerah macet itu ya….pegeeeelll hahaha
Iya mas, saya kenal banget namanya Jakarta.
Kalau gak macet itu gak asih…. hheehehe
Terima kasih sudah mampir, itulah Jakarta ….
Benar tuh, ketika menyetir pada posisi macet, lakukan dengan istirahat atau mampir di tempat rumah makan.
Betul, yang penting dompet jangan sampai ketinggalan hahahaha…
Waduh paakk ngerasain yang namanya pegel banget dong itu ? huhuhuhu
Lumayan sih. Makanya daerah macet itu enaknya pakai mobil metik..cuma main gas dan rem hehe..
Hehe… terjebak di tengah-tengah kemacetan merupakan makanan sehari-hari warga jabodetabek, terkhusus Jakarta… semoga para pembawa mobil pribadi dapat tabah dengan ujian semcam ini,,
Amin…..sekarang jalan tol juga sudah padat merayap. Bahkan dengan banyak perbaikan jalan di Jakarta seringkali malah kendaraan tidak bergerak. Tks atas kunjungannya, nanti saya kunjungan balik ke blog anda ya