AWAL Februari 2014 silam, saya sekeluarga: istri, anak, mantu, teman anak, melakukan perjalanan darat menggunakan sarana transportasi kereta api menuju Solo atau kota Surakarta, Jawa Tengah. Karena kesibukan rutin setiap hari, maka baru kali ini sempat penulis kembali catatan perjalanan tersebut.
Tujuan perjalanan kala itu adalah berburu kuliner. Ya, berburu kuliner ke kota Solo, kampung Joko Widodo alias Jokowi. Seperti diketahui, mantan Walikota Surakarta yang kemudian terpilih menjadi Gubernur DKI Jakarta itu — kini jadi presiden hasil Pilpres 2014 lalu – beliau memang adalah putra Solo asli.
Dari tempat tinggal kami di Kota Bekasi, Provinsi Jawa Barat, saya dan rombongan menuju Stasiun Gambir, Jakarta Pusat menggunakan kereta commuterline dari Stasiun Bulan-Bulan Bekasi. Sekitar pukul 17.30 WIB, saya tiba di Jakarta lalu turun di Stasiun Juanda. Kemudian dari Juanda meneruskan perjalanan dengan bajaj ke Stasiun Gambir untuk berganti kereta eksekutif Argo Lawu menuju Solo pukul 20.15 WIB.
Kereta tujuan Solo Balapan tersebut, malam itu berangkat dari Stasiun Gambir Jakarta dengan masinis Joko M. Sesuai rencana rute perjalanan, kereta api ini akan singgah di stasiun Cirebon, Purwokerto, Kebumen, Jogyakarta, Klaten dan stasiun terakhir Solo Balapan. Sebuah perjalanan malam hari yang mengasyikkan nih, pikir saya.
Saat berada di dalam gerbong kereta, segera mata saya mencari “teman” yang akan menemani selama perjalanan. Teman? Wah mau cari teman sesama penumpang? Jangan keburu curiga dulu, teman yang saya maksud itu tidak lain adalah fasilitas untuk penumpang seperti bantal, selimut dan colokan listrik untuk charger handphone serta laptop. Tak ketinggalan menyiapkan sebuah modem. Biasalah, seorang traveller tetap harus standby memonitor dan browsing di internet biar tidak ketinggalan informasi.
Menegangkan
Ada peristiwa menegangkan sebelum melakukan perjalanan menggunakan kereta api ini. Dengan tiket serharga kurang lebih dari Rp500.000,- ini, belakangan ternyata bermasalah dan cukup menambah cerita kelabu dalam perjalanan malam hari Jakarta-Solo tersebut. Tiket yang sudah dibeli untuk istri sejak jauh-jauh hari, mendadak dibatalkan karena ibu mertua meninggal dunia di Makassar. Istri saya harus segera terbang ke Kota Daeng tersebut. Biar tiketnya tidak hangus, maka malam itu juga istri saya rencananya mau digantikan oleh Agung, teman anakku, Akbar.
Untuk mengganti nama dari nama istri saya menjadi nama Agung, ternyata tidaklah gampang. Persoalan selanjutnya ternyata bermasalah, tidak semudah yang saya bayangkan dan rencanakan dari semula. Itu jadi ribet karena harus melalui proses pembatalan dan penggantian nama istri ke nama Agung.
Dan untuk urusan ini, kami serombongan (berempat) terpaksa harus bolak-balik, pontang-panting dari loket tiket yang berrada di ujung utara ke selatan di Stasiun Gambir. Waktu yang tersedia pun sangat singkat, hanya 15 menit karena menjelang kereta mau berangkat.
Tiket Hangus
Pilihan jadi serba sulit. Kalau membatalkan tiket malam itu juga, berarti harus menunggu proses seminggu lagi untuk pengembalian uang tiket. Sebaliknya jika tidak dibatalkan, tiketnya hangus begitu saja dan tidak ada pengembalian atau penggantian uang tiket. Ruginya banyak.
Di saat yang sama, Agung teman anakku, juga harus memegang tiket. Sesuatu yang tidak mungkin mengingat pemesanan tiket kereta ini dilakukan jauh-jauh hari. Tidak ada pemesanan tiket mendadak, apalagi menjelang 15 menit dari jadwal pemberangkatan kereta. Lalu solusinya bagaimana?
“Begini aja deh. Bapak segera lari koordinasi cepat ke petugas loket tiket di ujung utara, dan satu orang tinggal di loket ujung selatan ini untuk berjaga-jaga. Begitu petugas di ujung utara menyatakan tiket bisa dibatalkan dan bisa diganti dengan nama baru, maka segera telepon ke mari. Biarlah satu orang temannya yang ada di loket ujung selatan ini langsung bayar kepada petugas tiket di loket,” usul seorang petugas loket tiket, di ujung selatan Stasiun Gambir.
Usul petugas kemudian saya iyakan saja, demi menyelamatkan Agung agar segera memegang tiket dan ikut dalam rombongan kami satu kereta, satu gerbong, menuju kota Solo. Resikonya, ya itu tadi, harus beli tiket baru seharga Rp500.000 lagi. Adapun tiket lama terpaksa hangus tanpa pengembalian uang tiket. Ya, sudahlah, terlanjur kepalang basah.
Beberapa saat, tiket untuk Agung pun sudah tercetak, Agung mulai tersenyum, termasuk kami serombongan yang semula diliputi ketegangan.
Malam itu, rasanya hembusan angin malam di peron Stasiun Gambir, seolah tak mampu menutupi kecemasan dan menghapus butir keringat yang tiba-tiba menganak-sungai di tubuh kami masing-masing. Tegang, was-was, campur aduk. Itu berlanjut meski sudah berganti dengan hawa sejuk saat kami sudah duduk di kursi dalam gerbong kereta eksekutif Argo Lawu. Huuuhhhh, saya menghela napas panjang.
Beberapa saat kemudian, kereta pun bergerak perlahan. Melintasi sejumlah stasiun : Manggarai, Jatinegara, Klender, Buaran, Cakung, Kranji, hingga Bekasi, stasiun kereta yang biasa dilewati kereta commuterline jalur Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek).
Segera saya meraih “teman perjalanan”: bantal, selimut lalu merebahkan badan di kursi kereta. Mata saya coba pejamkan tapi tetap tak bisa. Sebelumnya saya masih bersibuk-ria mencolok peralatan listrik untuk charger handphone dan laptop. Maksudnya, untuk sekedar melihat dan meng-update blog pribadi sekaligus berselancar di internet biar tidak ketinggalan informasi.
Perjalanan Nostalgia
Pukul 21.03 WIB, datang tiga petugas mendatangi setiap kursi penumpang memeriksa tiket. Dua pegawai PT KAI, satu petugas Polsuska dari Polda DIY. Selesai pemeriksaan tiket, saya masih sempat mencatat di handphone melalui fasilitas notepad: Pukul 23.09 mampir di Stasiun Cirebon. Pukul 03,30 dini hari mampir di Stasiun Tugu, Yogyakarta.
“Ini perjalanan nostalgia kita, ya Pak,” kata anakku Akbar, tiba-tiba menyadarkan lamunanku saat kereta mampir sesaat di Stasiun Tugu, Jogyakarta.
Akbar mengaku terakhir ke Jogya naik kereta api saat saya membawanya ikut menghadiri wisuda S2 omnya, Gemini Alam, di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA), Universitas Gajah Mada. Ketika itu Akbar masih duduk di bangku TK.
Sekarang Akbar sudah selesai juga S1-nya jurusan komunikasi bidang study broadcasting sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta. Sementara omnya, Gemini Alam, sekarang malah sudah S3 bahkan sudah guru besar (professor termuda) di almamaternya di Fakultas Farmasi, Universitas Hasanuddin Makassar. Akbar sendiri kini sudah beristri dan memberikan saya seorang cucu perempuan yang cantik dan lucu.
Pukul 04.35 WIB kereta yang kami tumpangi dari Stasiun Gambir Jakarta, pelan-pelan memasuki Stasiun Solo Balapan, Surakarta, Provinsi Jawa Tengah. Saya mencatat perjalanan dari Jakarta ke Solo yang melintasi jarak 576 km ini, menempuh waktu sekitar 8 jam.
Saya lalu mengirim pesan singkat SMS ke seorang teman di Solo. Teman ini, sebelumnya pernah satu tim dengan kami sebagai wartawan sebuah koran sore di Jakarta. “Ass. Sy lagi nyasar2 di Solo nih mas. Lagi sarapan pagi di warung soto Gading.1, Jl Brigjeb Sudiarto, Kota Solo”.
Warung soto khusus ayam ini, menurut pengakuan salah seorang petugasnya, sudah turun-temurun. Yang di Jalan Sudiarto ini dikelola ayahnya, sudah ada cabang lagi yang khusus memakai daging ayam, buka di Jalan Veteran.
Salam,
Nur Terbit