Semboyan itu serta-merta langsung gugur, atau tidak berlaku sama sekali, saat berlibur ke Kota Makassar, Sulawesi Selatan.
Padahal selama lebih dari 30 tahun merantau ke Pulau Jawa, semboyan “mangan ora mangan, sing penting ngumpul” — makan tidak makan, yang penting ngumpul — sudah akrab betul di telinga saya. Bahkan terbukti dari fakta sehari-hari memang begitu.
Semboyan itu gugur.
Di “Kota Daeng” yang dulu bernama “Ujung Pandang” dan selalu bertiup “Anging Mammiri” ini, ternyata “ngumpul ora ngumpul, sing penting mangan” — ngumpul atau tidak ngumpul, yang penting makan dulu. Soal nanti pada akhirnya tetap ngumpul, itu urusan belakang, hehe…
Satu lagi, di daerah pantai yang masyarakatnya umumnya penikmat lauk-pauk dari ikan-ikanan selain coto, konro dan pallubasa ini, daging hanyalah pelengkap penderita saja. Buktinya, biar pun sudah tersaji daging di meja, tetap saja kurang lengkap kalau belum ada ikannya.
Tapi soal “makan” atau “mangan” ini pula, bisa tiba-tiba menjadi sensitif karena menyangkut soal perut. Masyarakat Bugis-Makassar rentan tersinggung bila sudah menyangkut soal perut. Harga diri (siri’) sering dikedepankan. Itu mungkin sebabnya, dalam satu sisi, etnis ini juga masih memiliki sifat humor yang tinggi jika sudah menyangkut “mangan” untuk konsumsi perut ini.
“Siri’-siri’ mako nu cipuru” — yang artinya, jika harus mempertahankan rasa malu, siap-siap saja kelaparan.
Maka, seperti pagi ini, kembali terulang ungkapan di atas, “ngumpul ora ngumpul, mangan”. Setelah bangun sholat Subuh, suara riuh, gedabak-gedebuk sudah terdengar dari dapur. Kaum wanita sudah lebih dahulu tenggelam dengan kesibukan rutinnya.
Apalagi kalau bukan mempersiapkan sarapan pagi, lengkap dengan pernik-pernik kue Bugis-Makassarnya. “Iki opo maneh? yo, mangaaanlah” — ini apalagi? ya makaaanlah”…hehe”.
Salam dari Makassar, 2 Januari 2014
Nur TERBIT