Reportase

Karebosi, Cerita dari Makassar Selain Coto dan Konro

Sensasi Karebosi (foto: koleksi pribadi)
Sensasi Karebosi (foto: koleksi pribadi)
Written by nurterbit

Saya menemukan foto narsis saya di depan Karebosi yang diabadikan 5 tahun lalu, tepatnya 9 September 2011. Tapi, hari ini saya mampir kembali ke Karebosi untuk sekedar bernostalgia.

Jauh sebelumnya, ketika puluhan tahun silam saat saya masih sekolah, kuliah di Makassar, lapangan Karebosi ini — yang belakangan disulap jadi pusat perbelanjaan (mal) di bawahnya — menjadi lapangan transit saya melepas lelah setelah mengayuh sepeda dari Sudiang (bandara) ke Karebosi – dan meneruskan perjalanan ke tempat kos di Gunungsari, tak jauh dari kampus saya ketika itu, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Alauddin (sekarang UIN, Universitas Islam Negeri).

Dulu, Karebosi juga tempat para “tukang obat” menggelar demo, menjual mimpi-mimpi kepada penonton, melebihi kecanggihan ilmu kedokteran. Saya ikut nimbrung bersama penjual obat, bukan mencari obat kuat spesial kaum lelaki, tapi mampir menikmati suguhan permainan ekstrim para tukang obat, disamping melepas lelah menggowes sepeda.

Lapangan Karebosi (foto : makassarterkini)

Lapangan Karebosi (foto : makassarterkini)

Di Karebosi pula dulunya, selain tempat bermain bola, juga ada coto Makassar dan sop konro yang dijual di sebuah tenda di bawah pohon beringin, persis di sudut lapangan. Coto dan sop konro tersebut, kemudian saya temukan di tempat lain — bahkan ada cabangnya di Jakarta — dan anehnya, masih tetap menggunakan nama Karebosi meski tidak lagi berlokasi di lapangan Karebosi.

Karebosi kini sudah berdandan. Bahkan jika diibaratkan seorang gadis, dandanannya kelewat menor. Takliwaki modena, kata orang Makassar. Itu mungkin sebabnya, dari sejak walkota lama hingga beberapa kali pergantian pejabat walikota Makassar, Karebosi tidak luput dari berbagai masalah dan benturan kepentingan.

Pusat kota Makassar memang dulunya adalah Lapangan Karebosi. Di sinilah titik kilometer 0 (nol) berada. Sebelum dipugar hingga seperti sekarang, Karebosi pernah menjadi pilihan utama warga kota Makassar untuk berolah raga bagi remaja Kota Daeng maupun keluarga. Orang kaya maupun orang miskin, semua berbaur di sini. Karebosi benar-benar milik masyarakat Kota Makassar dan sekitarnya.

Namun, sejak revitalisasi pada akhir 2007 lalu hingga masa perampungan tahun 2009, fungsi Karebosi sudah berubah. “Karebosi kini sudah menjadi milik orang kaya, sedangkan masyarakat kecil tidak bisa lagi menikmatinya,” kata Usman, warga Bontorannu, Kecamatan Mariso, Kota Makassar.

Karebosi kini sudah menjadi kawasan bebas becak dan pedagang kaki lima (PKL).Yang bisa berjualan di Karebosi Link hanya mereka yang memiliki ratusan juta rupiah untuk menebus satu petak lods. Pendek kata, Karebosi telah disulap menjadi kawasan elite dengan fasilitas mal bawah tanah yang menyediakan aneka fast food berlabel internasional.

Lapangan Karebosi setelah berdandan (foto : www.kaskus.co.id)

Lapangan Karebosi setelah berdandan (foto : www.kaskus.co.id)

BERNOSTALGIA

Yang pasti, saya mampir lagi ke Karebosi kali ini untuk bernostalgia sebagai rangkaian liburan saya pulang kampung. Ketika beberapa kali berkenalan dengan teman-teman sesama perantau di Jakarta, begitu mereka mendengar saya dari Makassar, atau Ujung Pandang, spontanitas diikuti oleh kata-kata, “Oooww…Daeng? Coto Makassar? Konro? Karebosi?” hehe…

Di Karebosi pula — ketika masih asli lapangan bola — seorang teman jurnalis dari Jakarta, dengan bangga menceritakan kalau dia mendapat kenalan cewek pada suatu malam di lapangan Karebosi. Si kawan ini tidak henti-hentinya memuji kecantikan dan keramahan cewek kenalannya itu kepada saya. “Cantik dan bening kulitnya, Nur…,” pujinya.

Esok harinya, ketika kami kembali menyusuri pinggiran lapangan Karebosi, si kawan jurnalis ini tiba-tiba berhenti dan berusaha menghindar dari seseorang wanita berambut panjang, sedang duduk di sebuah bangku, di pojok lapangan. Dari jauh wanita berambut panjang tersebut terlihat asyik sendiri dengan dunianya seperti layaknya anak autish. Dia tertawa sendiri, berbicara sendiri, berimajinasi sendiri.

“Nur, wanita itu …… ya wanita itu adalah kenalan baru saya semalam….”.

Ha? Kenapa rupanya?

“Diakayaknya wanita stres kali ya?,” kata si teman tadi.

Saya kemudian tidak bisa menahan tawa. Wanita berambut panjang itu — yang pernah dipujinya karena “cantik dan bening kulitnya” — ternyata wanita stress alias “baine tawu pongoro” dalam bahasa Makassar… hehe..

(Sudiang, 9 September 2015)

sumber foto koleksi pribadi dan :
www.makassarterkini.com
http://www.kaskus.co.id/thread/000000000000000007767366/-

6 Comments

Leave a Comment