*PESAWAT DELAY
Umrah menjadi salah satu alternatif perjalanan ibadah ke Tanah Suci Mekkah bagi kaum Muslim, di tengah kesulitan qouta haji dari pemerintah karena panjangnya antrean calon jamaah haji. Coba saja, jika kita mendaftar dan membayar ongkos naik haji (ONH) reguler (biasa) tahun ini, maka kesempatan mendapat giliran berangkat haji baru datang setelah 10 tahun ke depan.
Orang pun kemudian beralih memilih berangkat umrah, karena pertimbangan antara lain faktor usia dan kesempatan berangkat yang lama menunggu. Nah itulah yang terjadi di era reformasi sekarang ini. Sangat berbeda di era Soeharto (Orde Baru). Berikut pengalaman saya ketika berangkat umrah di era Soeharto (1996) — yang pernah saya tulis secara bersambung di koran sore HARIAN TERBIT (Pos Kota Grup) versi cetak — ketika masih aktif sebagai wartawan. Semoga bermanfaat.
*****
KE TANAH Suci di luar musim haji, memang berbeda suasananya. Banyak sisi-sisi lain yang lebih “longgar” bagi jamaah dalam menjalankan ibadah umrah. Namun keduanya (haji dan umrah), tetap saja memerlukan “perjuangan dan doa” — meminjam salah satu judul lagu dang-dut Pak Haji Rhoma Irama. Sedikit sisi lain itulah yang saya rasakan, paling tidak, saat umrah bersama Dewan Masjid Indonesia (DMI).
Pagi itu, Rabu 23 Oktober 1996 pukul 09.00 WIB, tumben arus lalulintas Jakarta bisa lancar. Sopir taksi yang membawa saya ke Bandara Soekarno – Hatta, bercerita, lewat jalan tol juga untung-untungan. Kadang lancar, kadang macet. Sekalipun sekarang sudah ada dua jalan tol menuju bandara, tol Cawang – Tomang dan Cawang – Pluit, tapi yang namanya macet, sekarang ini mewabah juga samapai ke mana-mana. Termasuk jalan tol — yang konon bebas hambatan.
Bicara tol, saya jadi ingat guyonan Menhub Haryanto Dhanutirto ketika suatu hari dengar pendapat dengan Komisi V DPR-RI. “TOL ya, tol. Kecuali diganti TIL, baru bisa lancar,” katanya. Rupanya , Pak Menteri menyingkat TOL dari kepanjangan Tetap Ora Lancar (Jawa, tetap tidak lancar) dan TIL dari Tetap Iso Lancar.
Itu sebabnya, jalan tol merupakan salah satu pertimbangan sampai harus lebih “pagi” berangkat ke bandara. Pengalaman ketika ke Palembang, Sumatera Selatan meliput persiapan angkutan lebaran 1995 lalu, saya terjebak macet di jalan tol hingga telat tiba di Cengkareng. Untungnya, pihak Garuda mau memindahkan ke pesawat Merpati — yang masih “anak perusahaannya” — hingga bisa mengejar teman wartawan lain yang berangkat dengan pesawat pertama Garuda.
Ini juga salah satu penyakit perusahaan penerbangan kita, khususnya Garuda dan Merpati, yang masih sering menggunakan jam karet. Waktu melakukan perjalanan jurnalistik ke Pelabuhan Teluk Bayur, Padang, Sumatera Barat 1996 lalu, kembali pengalaman kurang menyenangkan ini terulang.
Saya bersama seorang rekan wartawan sebenarnya sudah anteng duduk manis di kursi pesawat Merpati, persisi sesuai jadwal penerbangan. Namun baru lima belas menit sudah disuruh turun lagi dari pesawat. Salah satu peralatan navigasi pesawat, konon, mengalami gangguan.
Meskipun kemudian berhasil diatasi, rencana pemberangkatan sudah terlambat beberapa jam. (bersambung)