SILSILAH KELUARGA — Dalam menulis silsilah keluarga, saya harus mengurut satu demi satu urut-urutannya. Pada akhirnya, saya jadi kaget, ketika menemukan alurnya. Ternyata, saya dan istri sumbernya dari satu rumpun. Kata orang Makassar, “se’reji bulo-bulo kabattuangna”. Satu rumpun, rumpun bambu.
Dari silsilah keluarga berikut ini, mohon maaf, tak ada maksud apa-apa. Melainkan semata-mata agar anak cucu kami, punya pegangan jika suatu saat mereka ingin mengetahui asal-usul keluarga dan leluhurnya. Maka sosmed, terutama Facebook, adalah solusinya. Sebab bisa dijadikan sebagai “buku catatan” di era milenium ini — yang sewaktu-waktu bisa ditelusuri jejak digitalnya.
Orang tua kami : Ibu Hajjah Sitti Maryam Puang Mene (almarhumah) bersama ayah Haji Muh Bakri Puang Boko, kini berusia 87 tahun, pensiunan P dan K (kini Disdik) Kab Maros, Sulsel.
Keduanya menikah masih ada terkait hubungan pertalian keluarga, yakni saudara sepupu satu kali (Accikali, kata Orang Makassar), juga sekaligus keduanya anak dari dua Gallarrang Sudiang dan Karaeng Baine.
Ibu adalah putri dari H. Supu Puang Sau (Gallarrang Sudiang pertama), sedang ayah putra dari H. Abdul Rivai Puang Marala (Gallarrang Sudiang ketiga), adik kandung dari H. Supu Puang Sau. Sekaligus cucu dari Baso Puang Sarrang – Puang Saming, yang melahirkan 4 putra-putri, dimana 3 di antaranya jadi Gallarrang Sudiang dan Karaeng Baine. Gallarrang sendiri, adalah bagian dari Bate Salapang, Perangkat Pemerintahan Kerajaan Gowa.
Tidak heran, jika kemudian saya dan istri, ternyata juga berjodoh dengan masih mengikuti tradisi perkawinan antar keluarga. Ya seperti status bapak-ibu saya di atas. Orang tua dengan orang tua, masih adik-kakak berbesanan.
Bedanya, saya di urutan level tiga generasi keluarga. Kalau bapak-ibu saya “Accikali” atau sepupu satu kali, maka saya dan istri masih “Appindu”, alias sepupu dua kali menurut istilah orang Makassar. Lebih jelasnya, kakek saya Abdul Rivai Puang Marala dan neneknya istri None Puang Ngai, masih adik-kakak. Atau dengan kata lain, ibu bapak saya dengan mertua laki2 (ayah istri saya), masih saudara sepupu dua kali (Appindu) dan berbesanan.
Maka seperti kebiasaan orang Makassar, saya dan istri pun mendapat “paddaengan” — atau nama tambahan “Daeng” di belakang nama asli. Ini sebagai bentuk penghargaan, juga sekaligus bukti kalau sudah dewasa dan berkeluarga.
Saya misalnya, Nur Aliem Halvaima + (plus nama tambahan) Daeng Tika, masih cucu dari H. Supu Puang Supu dari pihak ibu, dan cucu dari Abdul Rivai Puang Marala dari pihak bapak.
Sementara istri saya, Sitti Rabiah juga mendapat tambahan “paddaengan” di belakang namanya, maka jadilah Sitti Rabiah Daeng Ngintang. Putri keenam dari pasangan Makkulau Puang Lantik – Sitti Aisyah Puang Ngolle. Atau cucu dari Patawari Puang Duppa – None Puang Ngai. Keduanya adalah Gallarrang Sudiang kedua dan Karaeng Baine.
Betul kan? Tidak sesederhana jika menulis silsilah keluarga dalam bentuk narasi, dibanding menuangkan dalam model skema atau bagan. Tapi itulah yang bisa saya tuliskan. Bagaimana dengan Anda? Salam (Nur Terbit)