Menulis catatan perjalanan (travel writer), disarankan agar menulislah apa adanya sesuai apa yang dialami, dirasakan, dilihat selama melakukan perjalanan. Tentu dengan bahasa yang gampang dicerna. Jangan menulis seperti gaya “Google” atau “Wikipedia”.
Contoh reportase perjalanan usai berkunjung ke tempat pengrajin gong di Kota Bogor, Jawa Barat. Pengrajin ini sudah turun-temurun, berdiri sejak 1811-an. Jika dibikin catatan perjalanan, tentu cukup menarik.
Di lokasi pengrajin ini tidak ada lampu penerangan, tapi gampang ditemukan lokasinya. Meski demikian, banyak yang kurang memperhatikan saat melintasi lokasi. Itu nilai tambah sebuah artikel. Unik, belum terjamah banyak penulis.
Saran dari Teguh Sudarisman, penulis catatan perjalanan cukup handal, katanya, sebelum menuliskan sebuah catatan perjalanan, diperlukan data penunjang atau pengenalan lokasi sejak awal. Jadi boleh searching dulu di internet. Selain itu dalam memulai menulis, langsung saja ke pokok masalah atau obyek wisata yang dikunjungi.
“Gak perlu ceritain soal tahapan perjalanan dari rumah ke lokasi, misalnya pagi-pagi sudah ke terminal, ngejar angkot, cerita soal itu nanti bisa ditaruh di akhir cerita saja untuk melukiskan jauhnya atau transport yang digunakan ke lokasi wisata,” kata Teguh.
Dalam mengumpulkan bahan tulisan, juga disarankan agar diusahakan sebisa mungkin melakukanan wawancara di lokasi. Bisa dengan petugas obyek wisata, kesan-pesan dari sesama pengunjung, atau pihak pengelola maupun Dinas Pariwisata setempat.
“Santai saja nanyanya, jangan kayak wartawan, nanti mereka curiga hahaha…”.
Dari wawancara dan pengalaman di lokasi wisata itulah, lalu kita bisa merangkai cerita. Tipsnya, langsung ke pokok masalah, saat sudah melakukan liputan tersebut. Ceritakan semuanya saat eksen di obyek kunjungan wisata tersebut.
Selain bisa ditulis di blog pribadi, catatan hasil perjalanan sebagai travel writer juga bisa dikirim ke media umum. Mereka sangat membutuhkan artikel wisata.
Salah satunya, koran terbitan hari minggu. Mereka biasanya menyiapkan halaman khusus untuk traveling keluarga. Atau cari majalah atau tabloid khusus pariwisata.
“Saya pernah ke Philipina dengan anak. Catatan perjalanan itu saya tulis di majalah, Alhamdulillah saya dapat honor 750 ribu rupiah, lumayan. Itu baru satu media, kita bisa mengirim ke media yang lain dengan sudut pandang yang berbeda. Jadi jangan ke obyek yang sudah biasa, tapi carilah yang unik,” kata Teguh.
Jadi, lebih gampang sebenarnya jadi travel writer. Contohnya ya Teguh sendiri.
“Saya menulis sebuah hotel di Bali dan bisa menginap gratis. Kalau dengan biaya sendiri, minimal saya harus bayar 1.100 dolar/semalam. Saya sadar sebagai orang miskin, tapi dengan bisa hidup mewah dengan sebagai travel writer. Diundang gratis oleh PR-nya, tiket pesawat bolak-balik disiapkan. Padahal tugasnya cuma bikin dua tulisan hahahaha…. “
Meski sengaja diundang oleh pihak hotel, kata Teguh, tapi jangan juga seperti menulis advetorial, yakni tulisan berbayar sebagai iklan di media umum. Semua isinya hanya memuji-muji.
Menulislah sesuai pengalaman pribadi saja, ulasannya diperhalus tidak kentara brriklan tapi sebenarnya promosi terselubung.
“Hampir semua artikel yang saya tulis adalah promosi terselubung, tapi tidak kentara kalau bacanya sepintas,” Teguh Sudarisman, buka kartu hehehe….
SEBERAPA PANJANG SEBUAH TULISAN UNTUK MEDIA UMUM?
Lalu, seberapa panjang sebuah tulisan wisata itu? Ya, tergantung apakah hanya mau mengirim foto atau artikel. Berdasarkan pengalaman, biasanya panjang tulisan itu setengah folio dengan foto sebanyak 15 lembar untuk majalah atau koran. Kalau blog, bebas karena milik sendiri, bisa lebih banyak lagi.
Waya Komala, blogger wanita lainnya ikut menanyakan kepada Teguh Sudarisman. Katanya, kalau tulisan yang singkat kira-kira butuh berapa halaman naskah dan ukuran fotonya berapa?
Menurut Teguh, sebuah artikel bisa diketik sampai 2 halaman di atas kertas ukuran A4. Sedang foto bisa mengirim 5-10 lembar, ukuran foto 500-600 fixel.
Biasanya kalau redaksi satu mass media tertarik dengan tulisan wisata yang kita kirimkan, mereka akan mengontak balik dan meminta ukuran foto sesuai yang mereka butuhkan.
Yang perlu diperhatikan, ketika artikel dikirim ke redaksi mass media harus terpisah file dengan fotonya. Jadi lampiran ada dua file di email.
“Itulah enaknya kalau menulis soal hotel, bisa kita pakai foto-foto hotel yang bersangkutan dengan tetap menulis sumber fotonya,” kata Teguh.
Ada lagi tips dan trik bagaimana jika meliput upacara adat, atau prosesi ibadah di obyek wisata. Selengkapnya ada di tulisan selanjutnya.
(Nur Terbit / Bersambung)
makasih banget ya buat tipsnya, bermanfaat banget
Terima kasih, saya juga senang pesannya bisa sampai hehehe
Kadang kalau menulis catatan pribadi yang ada malah bingung sendiri mulai dari mana ceritanya. tapi kalau udah mengalir kadang ya lancar-lanar aja
Tulis aja apa yang terlintas, belakangan baru disusun lagi biar lancar nulisnya hehehe….yuk ditunggu tulisannya pak, salam
Wahh guud inpohh om Nur…bisa juga nih nulis model gitu..tinggal cari bahannya ana
Itulah gunanya saling berbagi….
bener banget pak, nulis pengalaman sendiri lebih seru, lebih bisa mendalam. Saya pernah bid sebuah project jadi ghost writer, disuruh nulis tempat wisata dari hasil survey aja beberapa artikel, lalu penulisannya diharapkan seperti wikipedia, gemes sendiri karena jadi kaku 😀
Nah benar kan Neng Ayu? (iya ajalah biar cepat hehehe… ). Tulis aja gaya bertutur itulah gaya blogger menulis di blog. Ok ditunggu tulisannya yang gak kaku itu, salam….
Orang yang nonton emang dikira shoting beneran pak hahhahha 1.2.3 mulai truuss cut..cut..cut seru banget
Hahahah…. makanya seru. Kalau ada lagi pelatihan, pengen ikut lagi ah hehehe