DATUMUSENG, pria tampan perantau asal Makassar itu menendang “bola” di depannya dengan segala kekuatan yang dimilikinya. Lalu bola “raga” yang ditendangnya itu, melayang ke atas rumah bangsawan Tanah Sumbawa itu.
Bola “raga” itu menggelinding ke lantai dan melesat cepat menuju pintu sebuah kamar tidur. Seperti dikomando, bola itu lalu menerjang pintu kamar dan menerjang penghuninya: MAIPA DEAPATI, putri bangsawan Tanah Sumbawa.
“Bola siapa ini? Kurang ajar benar yang punya, sampai masuk ke kamar tuan putri?”, kata dayang-dayang sang putri.
Eh, bukan hanya masuk ke kamar tidur, tapi “raga” itu tiba-tiba menghilang dan masuk ke perut Maipa Deapati. Sang putri pun pingsan.
Sang putri pun sakit dan hanya bisa tergolek di tempat tidur.
Warga istana panik. Sayembara pun digelar
Pengumuman lomba ini segera menyebar ke segala pelosok kampung. Termasuk tembus ke telinga pria miskin dan perantau dari Makassar, Datumuseng.
Isi pengumuman sayembara itu berbunyi:
Barangsiapa yang berhasil mengobati sang putri dan mengeluarkan “bola raga” dari perut sang putri, akan diberi hadiah spesial. Kalau dia perempuan, akan dijadikan adik/kakak sang putri. Sebaliknya kalau dia pria, dijadikan sebagai pangeran yang akan menikahi Maipa Deapati.
NOVEL ROMAN MAIPA – DATUMUSENG
Adegan “sepak raga” unik tersebut di atas, saya kutip dan adaptasi dengan bahasa sendiri dari novel roman yang fenomenal, DATUMUSENG DAN MAIPA DEAPATI, karya Verdi R. Baso, seniman dan wartawan senior Kota Makassar.
Kedua sejoli Datumuseng – Maipa Deapati ini dapat ditemukan kuburannya di Jl Datumuseng, samping RS Stella Maris, tidak jauh dari Anjungan Pantai Losari, Kota Makassar, Sulawesi Selatan.
Sepak raga model Datumuseng, memang hanya ada dalam cerita novel. Dalam tradisi masyarakat, sepak raga merupakan permainan ketangkasan khas etnis Makassar, Sulawesi Selatan, menggunakan bola raga, semacam takraw terbuat dari anyaman rotan.
Orang yang memainkan bola raga dalam bahasa Makassar disebut “Paraga“.
MAIN DI MALAYSIA DAN JEPANG
Pada kelompok Paraga ini, dimainkan oleh 11 anggotanya, yakni 3 paganrang (pemain gendang, calung,-calung, gong) dan 7 paraga (pemain sepak raga).
Mereka rata-rata masih berstatus siswa SMP dan SMA, yang tergabung dalam Sanggar Seni Tradisional Sepak Raga Sudiang, asuhan Haji Alauddin Daeng Kuling. Kelompok ini bukan satu-satunya asuhan Haji Kuling.
Baca Juga: Haji Kuling, Pahlawan Keluarga Dengan Segudang Profesi
Sudah banyak generasi sebelumnya, datang silih berganti. Mereka “pensiun” lalu digantikan oleh yang lain karena sudah berumah tangga dan kurang elok lagi tampil di depan publik.
Mereka mengaku latihan tiga kali seminggu, demi untuk mempertahankan ketangkasannya bermain raga. Latihan ketangkasan dilakukan bertahap.
Paling sulit ketika bermain raga sambil berdiri di pundak pemain lain
Saat saya bertemu mereka, wawancara sekaligus mengambil gambar video ini, anak-anak asuhan Haji Kuling — panggilan populer Haji Alauddin Daeng Kuling — ini tengah “ditanggap” oleh adik sepupu yang puteranya duduk pengantin.
Kelompok paraga inilah unjuk gigi di depan pintu gerbang menyambut pasangan pengantin masuk ke halaman rumah.
Selain sering “menghibur” di tempat hajatan dan upacara adat di dalam negeri, merekanjuga sudah pernah tampil di luar negeri seperti Malaisya dan Jepang.
“Waktu ke Jepang, kami mewakili Kota Makassar sebagai duta kesenian,” kata salah seorang anggotanya. (Nur Terbit)
Makassar, Selasa 11 Oktober 2016
Bagaimana serunya permainan sepak raga khas Kota Makassar itu, berikut videonya :
Akhh selalu suka.. apalagi olahraganya selain sehat ada unsur seninya juga… suguhan seni di upacara pernikahan yang harus dilestarikan nih.
Mbak Mira, terima kasih sudah mampir. Saya juga setuju kalau budaya kearifan lokal dukestarikan. Salam….
Baru tahu akan kesenian daerah Sepak Raga, hehehe Lestarikan terus budaya Indonesia.
Itulah betapa kayanya negeri kita ini, termasuk kaya akan budaya. Salam kenal dan terima kasih sudah mampir di sini