Di depan peserta arung jeram, pemandu juga memberi pengarahan soal penggunaan peralatan. Bagaimana cara memasang helm, pelampung, dan memegang dayung. Juga ada aba-aba atau kode khusus dari pemandu: “maju”, “stop”, “kiri”, dan “kanan”.
Misalnya, ketika pemandu memerintahkan “maju”, artinya semua penumpang di atas perahu karet harus mendayung dari arah depan ke belakang.
Perintah “mundur”, peserta harus mendayung berlawanan dengan perintah “maju” tadi. Yakni dari belakang ke depan.
Perintah “stop” artinya harus berhenti mendayung dan peralatan dayung harus diletakkan di atas paha dengan posisi vertikal (melintang). Kalau mau memutar, tinggal mendengar komando berikutnya.
Kalau komandonya memerintahkan “Kiri” itu berarti yang penumpang yang berada di sebelah kiri harus mendayung dari arah belakang ke depan.
Begitupun bila dapat komando “kanan”, itu artinya sebaliknya. Pengarahan singkat ini, diberikan beberapa menit. Semua peserta nampak serius mendengarkan.
“Ini penting loh Mas, karena menyangkut keselamatan kita dalam perjalanan. Coba kalau bandel tidak menuruti perintah pemandu, ya perahunya bisa melintir atau hanya mutar-mutar di sungai haha…” kata teman, Syariful Alam dari Radio Republik Indonesia (RRI), yang satu perahu karet dengan saya .
Saya mengangguk, sambil dalam hati terus berdoa untuk keselamatan di atas sungai Citatih.
Saya ketika itu sebagai wartawan yang mewakili Harian Terbit (Pos Kota Grup), menggunakan satu perahu karet. Selain saya, ada penumpang lain. Ada Doly Ramadhan dari Seputar Indonesia (Sindo Radio), Syariful Alam (Radio Republik Indonesia ), dan pegawai Kemenko Kesra serta seorang pemandu.
Sementara perahu karet lainnya di depan kami, berpenumpang Syuri Hatiashari (Kemenko Kesra), Dina Manafe (Suara Pembaruan), Agus Ibnudin (Pikiran Rakyat), Prima Resti (Republika). Satu perahu di belakang kami, ada pak Tito Setiawan, Kepala Bagian Humas Kemenko Kesra. (bersambung)