Pers

Cerita Motor Gelatik Seorang Reporter

Written by nurterbit

Tulisan ini terinspirasi dari status FB sahabat saya: Hazmi Srondol di wall Srondol News yang saya baca suatu pagi. Kenangan bersama motor “Gelatik” yang tengki bensinnya berwarna putih-biru. Ya, tahun 1980-1982-an, saya juga pernah jadi penunggang setia motor gelatik saat pertama kali tiba di Jakarta dari Makassar.

Ketika pertama kali status saya meningkat dari seorang wartawan daerah, berubah jadi koresponden Harian TERBIT (Pos Kota Grup) perwakilan Indonesia Timur berkedudukan di Makassar, lalu hijerah ke Jakarta bergabung dengan koran milik mantan Menteri Penerangan dan Ketua DPR-MPR era Soeharto, pak Haji HARMOKO, dengan status reporter Ibukota.

Ceritanya, kantor tempatku bekerja, memberi kendaraan operasional untuk mengejar berita. Maklum sebagai orang bujangan, saya mengontrak rumah yang “multifungsi” — ya ruang tamu, ya tempat tidur, meja makan sekaligus juga ruang kerja — di Tanjung Priok, Jakarta Utara.

Dengan motor Honda Gelatik tersebut, sangat menolong kegiatan saya yang padat karena harus bolak-balik kantor Tanjung Priok- Pulogadung setelah menjelajah Jakarta mencari berita.

Cerita ini ternyata lebih baik dan lebih beruntung dari pada pengalaman Prof DR Salim Said saat masih menjadi reporter Majalah TEMPO di Jakarta.

“Saya mungkin satu-satunya wartawan Jakarta yang jalan kaki mencari berita,” katanya, saat saya menghadiri acara peluncuran bukunya, “Dari Gestapu Hingga Reformasi” di salah satu hotel di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, bulan November 2013 lalu.

Pak Salim sekarang sudah hebat dan sukses dengan menyandang berbagai status. Mantan seniman (pernah menjabat ketua Dewan Kesenian Jakarta), Wartawan, Pengamat Militer, terakhir mantan Dubes dan sekarang menulis buku).

Alhamdulillah, nasib saya ternyata lebih baik, minimal tidak lagi jalan kaki mencari berita tapi sudah menunggang motor, seperti yang dilakukan oleh “Daeng Salim” kelahiran Pare-Pare Sulawesi Selatan yang masih sekampung dengan mantan Presidan RI, BJ Habibie, atau dengan mantan Menkum HAM, Hamid Awaluddin, wartawan seangkatan saya di Makassar tahun 1979-1984 itu.

Kembali ke cerita soal motor Gelatik. Sebenarnya motor itu warisan dari loper koran yang sudah gak dipake. Selain karena plat nomor dan pajaknya sudah mati, juga karena sudah berkali-kali turun mesin sehingga kurang sehat lagi.

Itu sebabnya si Gelatik lebih banyak mogoknya dari pada mesinnya hidup. Kalau pun “hidup” lebih suka batuk-batuk hehehe…

Nah, karena saya sudah sering mendorong setiap kali mogok di jalan, akhirnya motor itu kemudian saya kembalikan lagi ke kantor. Diganti dengan motor lain, masih merk Honda, warna hitam tipe GL.

Bedanya kali ini statusnya bukan full motor dinas tapi setengah inventaris, setengah nyicil. Gaji saya dipotong setiap bulan untuk membayar kreditnya (belakangan motor ini juga ditarik ke kantor dan semua cicilannya dikembalikan, meski oleh bagian keuangan kantor TERBIT waktu itu, masih tega juga memotong uang pengembalian cicilannya dengan dalih biaya pemakaian.

Hahaha…..cara-cara yang sering dilakukan perusahaan lising memeras pelanggannya, juga masih kalah ya yang dilakukan bagian keuangan kantor saya ya? hahaha…

Tapi Alhamdulillah sih, dengan si Gelatik tersebut saya bisa mengejar sejumlah berita kasus, seperti :

* Pembunuhan peragawati Dice dengan pelaku Pak De Siradjuddin

* Kasus penganiyaan bocah Arie Hanggara yang tewas di tangan orang tuanya,

* Penemuan mayat terpotong 13 yang ditemukan di depan kampus UNJ (dulu IKIP) Rawamangun Jakarta Timur,

* Kasus pembunuhan ibu guru TK (Diah) oleh suaminya sendiri,

* Atau motor Gelatik ketika terjebak di pemblokiran jalan saat meledaknya kasus Tanjung Priok, hingga dengan motor menguber lokasi tabrakan kereta api di Sudimara, Bintaro Jakarta Selatan.

WARTAWAN -- Kenangan saat masih aktif sebagai wartawan/REPORTER lapangan. Foto lagi mengetik berita di kantor redaksi Harian TERBIT Jakarta ditemani (almarhum) teman wartawan Subastian Samsung (foto Ist)

WARTAWAN — Kenangan saat masih aktif sebagai wartawan/REPORTER lapangan. Foto lagi mengetik berita di kantor redaksi Harian TERBIT Jakarta ditemani (almarhum) teman wartawan Subastian Samsu  (foto Ist)

Di luar tugas wartawan, motor Gelatik itu juga saya pakai untuk mengambil koran dari kantor percetakan lalu menyebarnya ke rumah-rumah pelanggan saya, sebuah tugas rangkap yang saya sempat jalani beberapa tahun dalam membantu pemasaran koran Harian TERBIT ketika itu. Yang ini, baru kali ini saya publikasikan secara luas, sungguh, sebagai bentuk loyalitas dan dedikasi saya untuk profesi, hehehe…

Kalau hari ini Anda kebetulan menemui atau melihat saya menelusuri belantara hutan beton Jakarta dengan masih menunggang motor, ya itu bukan karena saya terlanjur “cinta banget” dengan motor. Tidak. Tapi ada pertimbangannya yang lain, paling tidak ada 3 hal.

Pertama, menghindari macet.

Kedua, menghemat ongkos, dan,

Ketiga adalah karena memang belum mampu beli mobil.

Nah, rasanya pertimbangan yang ketiga inilah yang lebih pas, hahahaha…….nasib, nasib.

“Teruslah menulis, lama-lama bisa jadi buku…”
Salam,

Nur TERBIT

www.nurterbit.com

Kenangan saat lagi liputan objek wisata di Liputan wisata di Lembaga, Bandung, bersama teman wartawan Burung Pramunsyi dan Fauzi Zen (foto Ist)

WARTAWAN — Kenangan saat lagi liputan objek wisata di Lembang, Bandung, bersama teman wartawan Buyung Pramunsyi dan Fauzi Zen (foto Ist)

2 Comments

Tinggalkan Balasan ke nurterbit X